Bab 6

 


Tabah

“Tak peduli bagaimanapun akhir penantian ini, aku akan tetap menanti.”

            Kau yang tabah, tidak pernah mengeluh pada siapapun di antara teman magangmu. Kujumpai kau sedang menyapu lantai SMK sendiri saat aku akan menemanimu belajar pagi itu. Kau belum mandi. Kau juga belum masak. Temanmu satu itu memang belum bangun, Ha?, batinku tak tega melihatmu. Ingin kubantu dan kuambil segagang sapu yang kau bawa, tapi kau bilang bahwa menyapu adalah kewajibanmu sebagai penghuni di sana. Aku semakin kagum.

          Kau bilang bahwa kau butuh sepeda motor untuk belanja di pasar pagi hari. Aku pinjamkan sepeda motor untukmu. Pikirku, kau tidak sendiri. Tapi, entah mengapa kau selalu mengalah. Lagi-lagi aku kagum.

Suatu waktu, kau tertidur di depan laptopmu kala pagi aku datang ke SMK. Kutanya, “kamu capek ya?” kau menjawab sambil tersenyum, “Tidak, Mas Aqib.”

            Sejurus kemudian kau bergegas mandi. Saat mandi, aku menyapu ruangan, agar setelah mandi, kau tak berkeringat karena harus menyapu. Setelah mandi, kau bersemangat dan meminta padaku agar menemanimu belajar. Entah mengapa, kau selalu berbicara bahwa kau tidak faham sama sekali bahasa Arab. Aku bingung dengan pernyataanmu.

“Bukannya kamu prodi bahasa Arab, Mbak?”

“Iya, Mas. Tapi tidak bisa bahasa Arab.”

Tapi kurasai, kau seperti sepi di antara keramaian, Dik. Kau merasa dua temanmu bisa, sementara kau sendiri tidak. Itu bukan hal baru di kelas, bukan? Tidak hanya di kelas, di masyarakat majemuk pun begitu.

“Kapan Kamila ke sini?”

“Senin, Mas,” jawabmu. Lagi-lagi, setiap kali berbicara, mengapa kau simpulkan senyuman di bibirmu? Entah, jangan sekali-kali memancingku agar punya empati, pikirku. Tapi, aku hanya mati kutu untuk bisa bicara. Mulutku kelu tak dapat mengungkapkan perasaan apa.

Setelah kembali ke kamarku di Pondok Putra, mengapa tiada lagi di pikirku kecuali berdekatan denganmu? Aku tidak pernah menyengaja menanamkan rasa di lubuk hati. Saat ini, aku benar-benar masih trauma dengan cinta.

Bagiku yang baru seumur jagung, cinta lebih dominan pada nafsu. Sependek pengetahuan, cinta adalah rasa yang unsurnya empati. Kalau cintamu karena sebab, maka tamatlah sudah cinta di hatimu tiada berbekas seiring hilangnya sebab itu. Aku pernah mencintai seorang wanita karena wajahnya, cantik benar, dan anggun. Dua bulan tak bertemu dan melihatnya upload foto di instagram, aku tercengang. Wajahnya berubah jelek dan penuh jerawat. Aku jijik dan meninggalkannya pergi atas dalih “belajarlah dulu. Cinta akan kau gapai seiring banyaknya ilmu.”

Lalu ketika aku bertanya pada diriku apa alasanku mencintaimu, tak ketemui jawaban. Sampai saat ini, aku belum pernah punya teman perempuan seperti Kau, yang setiap hari bertemu dan bertatap muka. Dan entah, mengapa takdir menggiringku pada sebuah pertemuan yang diikat dengan pelajaran. Formalitasnya, aku menjadi temanmu belajar menerjemahkan kitab.

Di kamar aku tertidur pulas. Kau tahu sendiri, waktu tidurku adalah pagi hari. Bapak selalu menasehati, “tidak baik tidur waktu pagi.” Namun entah, pagi adalah malam yang lebih suram dari malam, sehingga aku menggunakannya sebagi ajang tidur belaka.

Tiga hari berturut aku selalu memimpikanmu. Kata orang, mimpi dalah bunga tidur. Lain orang juga pernah mengatakan dan aku sering mendengarnya, bahwa mimpi bisa saja kau siasati. Halu. Orang yang selalu kau bayangkan adanya, akan datang di mimpimu tanpa kau minta. Entah, benar atau tidak, Dik.

Aku bilang padamu bahwa aku sering memimpikanmu. Kau tertawa. Masih ingat betul aku, bagaimana bentuk mulutmu saat kau tertawa. Gigimu yang tertata rapi itu terlhiat putih benar. Setelah tertawa, kau bilang, “Mas Aqib sih, sering memikirkanku.” Kemudian kau tertsenyum. Huft….Senyummu mengandung zat adiktif.

Aku yakin benar bahwa Kau pasti sudah tahu bahwa aku telah memendam perasaan. Tapi entah, kebanyakan wanita senang menyiksa kekasih, dan menggantungkan kepastian di balik kepedihan dan penyiksaan sikapnya. Kau sendiri seperti itu, bukan?