Muhammad (2)


Sekuel Catatan Seorang Pejalan

Kemudian mula-mula pada usia yang kata orang adalah dewasa, aku mulai merasa bahwa wanita adalah salah satu dari sumber semangat. Kata orang, wanita adalah pendorong dari semangat laki-laki yang nomor wahid untuk menjalani hidup. Sebab wanita, seorang pemuda mampu jatuh tersungkur dari lesatan ketinggian (tingginya karier, tinggi pengetahuan, tinggi jabatan, dan apapun dari aspek-aspek hidup) kepada titik terendah tidak mempunyai apapun. 

Qays ibn Mulawwih, seorang anak raja dari suku ternama saja mampu dibuat gila dan termehek tiada jelas karena cintanya pada Layla, seorang putri yang konon katanya biasa-biasa saja. Bandung Bondowoso, seperti yang nenek moyang kita ceritakan hingga terdengar oleh telinga kita hari ini, mampu membangun seribu candi dalam satu malam. Romeo dan juliet, Mamo dan Zen. Semuanya adalah korban asmara dan cinta.

Karena itulah, kemudian aku mulai bertemu banyak wanita dalam perjalanan. Perjalanan yang kutempuh tidak lebih panjang dari perjalanan seorang Imam Ghozaly dalam mencari esensi kebenaran. Perjalanan yang tiada sama sekali pengorbanan di dalamnya karena banyak keluh dan sambat yang muncul dari lisanku. Sementara Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghozaly, merelakan ketenaran dan kemasyhuran sebagai seorang yang telah faqih (ahli ilmu fikih) pilih tanding untuk berkelana mencari kesejatian hidup. Memelajari keteguhan daripada para ulama'-ulama' terdahulu memang kadang bikin pikiran kita kemput-kempis, tiada apa-apanya barang sedikit saja.

Lalu dari banyaknya wanita yang kutemui dan jumpai itu, kupilah dan pilih beberapa di antaranya untuk kujadikan pelampiasan egoku. Munak sekali aku sebagai manusia yang disebut pejalan. Tuhan, maka bila jalan yang kutempuh salah, beri aku sharelock-an untuk kujadikan peta menuju keharibaanmu. 

Lalu, dari beberapa wanita yang telah terpilih tersebut, aku suling lagi, aku jaring lagi yang lebih baik di antara lainnya. Itu kontes apa cara penghargaan terhadap makhluk Tuhan? Duh, masya Allah.

Tahun demi tahun larut dalam larungan takdir umurku. Aku agaknya lebih bisa merasai bahwa cinta bukanlah permainan egois. Aku mulai larut dalam balutan-balutan masalah dan falsafah hidup seiring bertambahnya umur dan usia. Orang menyebutnya "masalah". Ya, aku ditamui oleh masalah. Belum kelar satu masalah, lain masalah bertamu lagi, bertamu lagi, bertamu lagi, hingga menumpuk pada otakku banyak masalah. Kupikir dan kurenungi bahwa aku masihlah anak kecil yang tidak punya kedewasaan sama sekali dalam urusan hidup. Manusia-manusia pada lingkupku tergerus oleh nafsuku.

Dalam usia itu pula, aku sering mengeluh karena masalah, Dan yang membikin aku berada pada titik mengalah adalah karena masalah tidak mau mengalah padaku sama sekali. Ia selalu membikin ketenangan hidupku menjadi tidak keruan, menjadi rancu dan morat-maret. Ia selalu membikin aku kelimpungan dan kemput nyali menjalani hidup yang lebih terang, bahkan tak jarang pula ia membikin lebih gelap malah. Lambat laun kusadari: bukan masalah yang membuat hati lebih gelap, tapi kapasitas hatiku yang terlalu sempit dan sipit untuk memandang masalah dengan arif dan bijak.

Saat itulah aku kemudian mulai mengendorkan endapan-endapan cinta, mulai tidak menyeleksi wanita, dan tidak membeda-bedakannya lagi. Aku sadar setiap yang diciptakan Tuhan punya mazaya (kelebihan) masing-masing sebagai media penopang hidup dan bertahan. Wanita pun sama, punya kelebihan masing-masing dalam menjalani realita hidup. Wanita yang baik adalah wanita yang mengetahui kelebihan yang diberikan Tuhan lalu mensyukurinya dan tidak membanding-bandingkan pada yang lain. Wanita adalah mahkota bagi setiap yang terlahir dari rahimnya. Maka anak yang tak menaruh hormat pada ia punya ibu adalah anak yang tidak punya kehormatan sama sekali.

Di tengah perjalanan, salah seorang guru berbicara: "Cinta bukan apa yang kau ketahui, tapi apa yang tidak kau ketahui." Tidak tahu apa maknanya, aku diam saja sambil menundukkan kepala tak jauh dari guruku duduk. Seiring berjalannya waktu, aku banyak menemukan kata-kata tentang cinta.Banyak ulama-ulama sufi yang mengatakan cinta adalah samudra yang tidak diketahui secara spesifik definisinya. Apa dan segala yang kita ketahui tentang cinta hanyalah sepersekian ilmu dari esensi definisi cinta. 
***

Bab depan insya Allah saya ulas tentang kisah Layla Majnun