Tutur Pengembara (1)

Sumber: Pexelsfree, by: Alan Cabello

Pengembara Berbicara Mistisisme

Jauh sebelum manusia mengenal tumbuhan yang belakangan dijadikan alternatif untuk memenuhi kerakusan urusan membuncitkan perut manusia sendiri, juga belum terlintas dalam kepala yang tak lebih besar dari kepala sapi bahwa gading gajah bisa dijadikan hiasan estetik, tanduk kijang dan cula badak bisa dijadikan hiasan yang diikat dan kemudian dipajang di atas singgasana tuan rumah di ruang tamu, seorang pemuda bertapa di dalam goa, dia atas gunung yang terkenl akan keangkerannya. 

Tetapi aku tak mau menceritakan bagaimana ia bisa mencapi puncak dan kemudian mendiami goa itu. Itu bukan ranahku. Sebab cerita ini aku dapatkan dari beberapa semut yang barusan berbicara kepadaku terkait bagaimana teman-temannya dilindas habis oleh kaki-kaki raksasa yang tak lain dalam pemahaman kita adalah 'manusia'. Berkatalah aku pada beberapa ekor semut itu dan mereka mendengarkan dengan saksama; "Ceritakanlah padaku, wahai para semut, bagaimana kalian merasa tertindas? Atau, jangan-jangan kalian yang egois sebab tak mau mengalah pada manusia; kalian membuat sangkar di tempat keramaian manusia?"

"Loh, ya ndak bisa begitu, to, Pak!" tutur semut yang ada di barisan belakang. "Apa sih susahnya, sebelum mereka menggusur rumah kami, terlebih dahulu mereka memberi tanda, misal dengan mengebas-pelankan sulak, atau meraih rumah kami baik-baik?"

"Tapi tidak semua manusia begitu, kan?"

"Di desa ini, baru kami dapati satu orang yang seperti itu, Pak, sebab yang lain telah menggusur semua rumah kami, dan ditindas menggunakan obat yang mematikan anak keturunan kami, mereka ingin kita punah, dan benar sudah apa yang mereka mau, beberapa di antara saudara kami telah punah."

"Hanya tinggal kalian ini yang tersisa?" Dan semua semut yang kulihat beberapa saja itu terdiam, tak ada sama sekali suara kecuali suara angin yang menabrak reranting, juga dedaunan, juga yang membelai-lambai debu jalanan ini. "Masak tinggal tersisa kalian?"

"Kami berbondong-bondong pindah tempat, Pak..." celetuk semut yang paling depan.

"Di mana?"

"Di bukit sana," jawabnya. "Keperluan kami ke sini untuk mengontrol, barangkali ada saudara kami yang masih kesusahan mencari tempat tinggal yang layak dan nyaman, maka kami akan mengajak mereka pindah ke bukit bersama kami."

Ini adalah mimpi! pikirku. Mengapa tiba-tiba semut bisa berbicara padaku?

Aku sadar dari lamunan, kudapati beberapa semut itu telah berjarak dariku. "Woii...," aku berteriak pada mereka. Dan mereka, kesemuanya menoleh padaku. Ini bukan mimpi ternyata. "Siapa satu orang yang kalian maksud tadi?" sontak aku bertanya perihal orang itu. Tanpa menunggu jawaban mereka, aku menghampiri mereka. "Ayo, antarkan aku pada orang itu," ajakku. Dan mereka pun berjalan, berbaris, seperti sebuah pasukan perang. 

Aku sampai pada bibir semak-semak, dan mereka mengatakan padaku untuk tidak takut, sebab kata mereka, alam adalah saudara kita. Tak ada hewan yang jahat, manusia yang jahat pada mereka, dan hewan tak punya naluri lebih untuk membalas ribuan kematian hewan dengan setimpal, dan manusia mengklaim satu manusia yang mati sebab hewan, bisa jadi semua jenis hewan kena dampak dan imbasnya. Aku pun mengiyakan - atas sumber yang kudapati di media sosial dan berita-berita. Mereka juga bilang, 'tak usah takut, nanti kami akan membelamu sebagai orang yang baik, seperti orang yang sedang bertapa dalam goa itu'. Dan aku mengiyakan, mengikuti mereka berjalan.

Suasana sekelilingku penuh hijau. Dedaun ranggas dan rangting yang patah itu yang menjadikannya lebih indah untuk kupandangi, serta beberapa bunga dan kuncup-kuncup yang wangi. Indah sekali. Alam memang menawarkan banyak perenungan untuk kesadaran bahwa selain sesuatu yang dapat kita kendalikan dalam batas kekuasaan diri, ternyata juga ada peran suatu yang irrasional. Tapi, ah, ngapain aku panjang lebar?

Lama sekali perjalananku bersama beberapa semut. Namun pada akhirnya sampai juga di sebuah goa yang besar. Para semut itu mempersilahkan aku untuk masuk. Ada ular yang sangat besar sedang menekuriku, menatap licik padaku. Aku ketakukan. Tetapi, semut-semut itu membela diriku dengan mengatakan padanya bahwa aku ini manusia baik, teman pengembara yang tak lain ada petapa yang ada dalam goa itu.

Aku pun memasuki goa itu. Sangat indah. Gemericik air itu menetesi bebatuan yang ada di sudut kanan goa. Tanaman pernak-pernik dan berwarna-warni di sampingnya tumbuh sangat subur, dan di sampingnya, seseorang berambut putih panjang menjuntai sebahu itu sedang duduk bersila, tanpa busana. Kupandangi ia. Dan aku tak ingat lagi. Yang kuingat adalah gelap. Anjir!! Sayang sekali! 

***

Anjir! Aku bangun tidur! 

"Kuliah, Nak, sudah jam delapan," celetuk ibu.

Aku pun terbangun, melipat selimut dan merapikan bantal. Di balik bantal, beberapa helai daun kelapa, terlihat sudah sangat lusuh. Kuraih.

"Masihkah tak percaya mistisisme?"

Bersambung...Wkwk