Cinta Memang Begitu, Tapi Tidak Begitu

Cinta Memang Begitu, Tapi Tidak Begitu

Cinta Memang Begitu, Tapi Tidak Begitu

"Kalau cinta, Mbok yao langsung utarakan saja. Kalau diterima cintamu, kamu bahagia. Kalau nggak diterima, ya rasakke. Alih-alih merasakan sakit, lain waktu akan kau temukan penggantinya. Kalau kamu pendam terus, ya sakit," begitu kata guru bucin saya beberapa hari yang lalu, di kafe Basabasi Sorowajan.

Kebetulan saya sangat mencintai cewek. Dia satu universitas dengan saya. Cukup bagi saya menjadi secret admirer-nya saja. Saya lebih ke sadar diri, sih. Dia perempuan cantik, lucu,imut, dan menggemaskan,sementara saya cuma seorang mahasiswa yang hidup berkalang kepedihan. Good looking juga tidak. Namun, saya mencintainya.

Jangankan mengutarakan perasaan, bertemu dengannya pun saya sudah merasa inscure. Wajar, nggak, sih, kalau laki-laki inscure sedemikian seperti saya? Hahaha. Maka saya memendam perasaan cinta saya sampai saat ini.

Ternyata banyak teman saya yang tahu, padahal saya tidak pernah memberitahu perihal perasaan ini pada satu pun manusia di dunia ini. "Gerak tubuh adalah bahasa cinta," begitu jawab salah satu teman saat. "Bajigur," pekikku dalam batin.

Tentang pengalaman cintaku, beginilah asal-muasalnya:

Cinta Adalah Penyakit Aneh

Sebagai Mahasiswa Baru, wajarlah bila belum mengenal banyak mahasiswa lain. Adanya tugas kelompok merupakan salah satu cara untuk mempunyai banyak teman. Dan begitulah memang cara berkenalan paling efektif bagi Mahasiswa Baru mencari circle pertemanan untuk support sistem.

Kebetulan waktu itu kelompok kami berjumlah empat orang; dua cowok dan dua cewek. Salah satu anggota kami membikin grup Whatsapp, Disepakatilah kami berkumpul di kafe Basabasi Kragilan. (Sempat saya abadikan momen itu pada cerita pendek saya berjudul Mata Indah) Saya jatuh cinta pada matanya. Bening. Menarik.

Singkat kata, saya suka dengan cewek itu. Dan saya perjuangin. Tetapi, demi apapun, saya tidak berani menyatakan cinta – yang pada akhirnya teman saya mengetahui perasaan saya dan kemudian melontarkan kata-kata yang saya tulis di atas tadi – padanya.

Semenjak tugas kelompok itu, saya stalker instagramnya, saya cari-cari fotonya. Apakah kalian juga demikian bila mencintai seseorang – men-stalker akun medsosnya?

Tidak seperti hal-hal indah lain, cinta memang sulit untuk dipahami, bukan? Rumi bilang, “Cinta adalah penyakit. Orang yang dilanda olehnya tidak akan pernah ingin disembuhkan.” Ada kejanggalan pada seorang pecinta; mereka kadang tak dicintai balik, tetapi aneh, justru tak ingin sembuh.

Aku juga begitu. Aku merasakan sakit, tapi tak ingin sembuh. Mungkin juga kamu, sedang mencintai orang yang tidak mencintaimu, tetapi kamu memilih untuk tidak mau sembuh. Aneh, kan?

Sakit, tapi Nggak Ingin Sembuh

Apa, sih, yang menyebabkan orang gamon (gagal move-on)? Bukan karena sadar bahwa cinta tidak memberi rasa sakit, tidak membebani pikiran, melainkan ya karena begitulah sifat yang melekat pada cinta. Ia Bahagia sekaligus luka, suka sekaligus duka.

Dalam labirin perasaan dan pengalaman manusia, terdapat sebuah fenomena yang tak bisa dielakkan: cinta. Ia mengguratkan jejak-jejaknya dalam bentuk keindahan dan kesedihan yang tak tertandingi. Cinta, entah bagaimana, bisa menjadi pisau bermata dua yang menusuk hati dengan pedih namun memikat dengan kekuatan tak terduga.

Sakit adalah kata melekat pada cinta. Seperti sebatang panah yang menusuk ke dalam dada, cinta melukai tanpa ampun. Ia menciptakan luka-luka terdalam dalam kehidupan kita, mengguncangkan pijakan yang kita yakini teguh. Rasanya seolah-olah hati kita tercerai-berai, terbelah menjadi jutaan pecahan yang tak mampu kita kumpulkan kembali.

Cinta itu penyakit yang aneh. Meski kita menyadari betapa menyakitkannya, kita masih enggan melepaskannya. Seperti candu yang meresap ke dalam darah, cinta melahirkan kecanduan yang tak tergambarkan. Kita tetap terjebak dalam lingkaran keinginan dan kerinduan, seolah-olah menolak mengizinkan waktu menyembuhkan luka.

Bahkan para filsuf terkenal pun tak luput mengamati keanehan ini. Seorang filsuf besar pernah berkata, "Cinta adalah penyakit yang ingin kita derita." Lha, ini, kan, paradoks yang mendasari cinta itu sendiri.

Misal, ente, ketika mencintai, pasti terpaku pada rasa sakit yang terasa manis, kehilangan yang memikat, dan pengorbanan yang mencekik. Inilah daya tarik aneh yang membuat kita tidak bisa melepaskan cinta dari genggaman.

Lalu, apa artinya semua ini? Mungkin, cinta adalah sebuah pengujian bagi jiwa manusia. Ia mengajarkan kita tentang ketahanan dan kekuatan batin yang tak terduga. Ia membuka pintu menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita sendiri, tentang sifat-sifat tersembunyi yang hanya bisa terungkap dalam situasi-situasi yang paling rumit.

Pada akhirnya, cinta bukanlah penyakit yang harus disembuhkan. Ia adalah sebuah keajaiban yang tak terbatas, yang melintasi batasan-batasan pikiran kita dan menghubungkan kita dengan sisi paling manusiawi dalam diri kita. Meskipun sakit dan aneh, cinta menunjukkan kepada ente bahwa ente hidup.

Jadi, masihkah kau salahkan cinta diri bila cintamu belum kunjung sembuh hingga saat ini?

Sulit Menerima Nasihat

Jadi setelah teman saya tahu kalau saya patah hati, dia ngajakin saya ngopi di Basabasi Sorowajan. Dalam sela-sela ngopi itu, dia bilang, “Kalau patah hati dinikmati sekadarnya.

Saya diam saja saat teman saya melontarkan kalimat (sok) nasihat itu. Dikira saya akan mendengarkan dengan seksama seperti kiai menasehati santrinya, gitu? "Kang, lain kali, kalau ingin menasihati orang, jangan ke yang sedang patah hati, ya. Suwer, deh, nasihat bagi bucin akut seperti saya hanyalah bualan dan sia-sia." Tapi, ya, meskipun begitu, saya tetap terima kasih karena diberi nasihat.

Jadi itulah beberapa keanehan cinta. Kamu sudah menyadarinya? Lantas, masihkah kamu akan menyalahkan temanmu, adikmu, mantanmu, barangkali, yang sedang sulit sembuh dari rasa cinta? Atau, barangkali kamu sendiri yang seperti itu? Ha-ha-ha. Cinta memang begitu, tapi tidak begitu. []