Bujang Harek (1942)
Bujang Harek (1942)
Cerpen Dian Chandra
Toboali, 1942
Tahun 1942, kolonialisasi dan
kecongkakan Belanda di Toboali pada akhirnya rubuh jua. Sayangnya, kota tua itu
tak sepenuhnya dapat merdeka. Selepas kepergian Belanda, justru Jepang yang
mengambil alih semua inventaris sisa kolonialisasi Belanda.
Sebagian masyarakat mengelu-elukan
Jepang sebagai sang penyelamat sebagaimana yang dijanjikan Jepang. Namun,
rupa-rupanya tak semua masyarakat berpikiran serupa, Bujang Harek dan
kawan-kawannya, misalnya. Diam-diam tanpa sepengetahuan Jepang, Bujang Harek
dan kawan-kawannya merancang strategi untuk melawan Jepang.
Agar tak ketahuan, para pejuang itu
bersembunyi di dalam hutan-hutan yang berada di sekitar wilayah Toboali. Pada
masa itu boleh dibilang keadaan hutan tidak lah lebih baik dari pada sebuah
kuburan. Hutan pada masa itu tampak gelap, angker dan menyimpan seribu misteri
di dalamnya. Terlebih di sanalah bermukim segala jenis hantu dan jin. Bujang
Harek dan kawan-kawannya bukan tak tahu akan hal itu. Namun, bagaimana pun
mereka harus tetap memilih hutan sebagai tempat persembunyian.
Maka dibangunlah oleh mereka sebuah
pondok hume sebagai tempat mereka bernaung untuk sementara waktu. Mula-mula
mereka membabat hutan dengan peralatan seadanya, berupa kapak, parang dan
cangkul. Terlihat batang-batang pohon tinggi menjulang, daun-daun yang rimbun
menutupi masuknya cahaya matahari, dan akar-akar pepohonan yang besar-besar.
Melihat akar-akar yang besar itu membuat salah satu dari mereka, seorang pria
paruh baya yang bernama Atak, berpesan agar jangan memukul akar kayu dan jangan
pula bersiul.
Kawan-kawannya yang terdiri dari 10
orang pria itu hanya mengangguk-angguk, sebagian malah tak terlalu merespon
peringatannya. Bujang Harek sebagai pemimpin perjuangan, merasa perlu
mengingatkan kawan-kawannya itu. Setelahnya, Bujak Harek mulai membagi tugas
dalam membabat hutan dan sekaligus membuat pondok hume.
“Aku harap malam iini kita sudah
dapat tidur nyenyak di dalam pondok!” tegas Bujang Harek.
Mendengar ucapan Bujang Harek yang
penuh wibawa itu tak ayal membuat kawan-kawannya menurut jua. Maka berpencar
lah mereka. Ada yang ke barat, selatan, timur, dan utara. Masing-masing dengan
tugas yang berbeda.
***
Malam menjelang, samar-samar cahaya
bulan menerangi wajah Bujang Harek dan kawan-kawannya. Pondok yang mereka
rencanakan, rupanya telah berdiri cukup kokoh. Meski hanya terbuat dari
beberapa batang kayu dan beratapkan daun nipah, setidaknya cukup layak untuk
menjadi pelindung mereka dari serangan binatang liar dan dinginnya malam.
Para pejuang itu tampak duduk
membelakangi pondok, melingkari api unggun. Bujang Harek memulai pembicaraan,
ia bermaksud menyampaikan strateginya.
“Besok, kau si Bujang Angin dan Pak
Wo, aku tugaskan memulai mata-mata dengan cara menyaru sebagai nelayan!”
perintah Bujang Harek yang disertai anggukan kepala kedua kawannya itu.
Sementara Bujang Harek melanjutkan
perencanaannya, diam-diam Atak merasakan suatu kejanggalan. Rasa-rasanya ada
sepasang mata yang tengah memperhatikan aktivitas mereka. Ia pun menoleh ke
sana ke mari, akan tetapi tak ia temukan apapun, kecuali sepasang mata bulat
Burung Hantu yang bertengger di dahan pohon menggeris.
Atak mengingat-ingat tanggal berapa
kah hari ini? Setelah menyadarinya, ia pun segera melihat ke atas langit. Benar
saja, bulan purnama tampak sebagian dari balik rimbunnya dedaunan pohon.
Segera, ia mengingatkan kawan-kawannya, namun tidak secara langsung, melainkan
secara tersirat.
“Kawan-kawan,
aku rasa lah waktu e kite istirahat! Besok kite agik banyak gawe!” ajak
Atak. Bujang Harek memahami maksud dari ajakan kawannya itu. Segera
diperintahkannya lah kawan-kawannya untuk masuk ke pondok. Biar ia yang akan
berjaga-jaga di luar. Kawan-kawannya pun menurut, menyusuli Atak yang telah
masuk pondok sedari tadi.
Bujang Harek tersadar jika mereka
sedang diawasi oleh makhluk asing yang tak serupa dengan mereka. Ia tersadar
setelah melihat gelagat Atak yang mencurigakan tadi. Selain itu, ia juga
menyadari bahwa malam ini adalah malam ke-13, malam terang bulan. Menurut
cerita yang ia dengar, makhluk asing itu akan menunjukkan diri pada tanggal 13,
14 dan 15, hanya untuk menyugih atau menyirih. Makhluk itu menyugih dengan
menggunakan campuran daun simpur dan pucuk nipah. Namun, ada juga yang
menyebutkan, sugih yang biasa makhluk itu konsumsi berasal dari pucuk daun
keremuang yang dibuat serupa gumpalan.
Malam semakin larut, dingin semakin
menusuk tulang. Api unggun di hadapannya semakin lama semakin berkurang
kehangatannya. Bujang Harek melirik ke arah tempat penyimpanan kayu bakar.
Rupa-rupanya, sudah tak ada lagi kayu bakar mau pun ranting kering yang
tersisa. Maka, mau tak mau, ia harus berjalan menyusuri pepohonan di dekat
markas mereka untuk mencari ranting-ranting kering dengan berbekal penerangan
sebatang obor yang terbuat dari batang bambu. Tak lupa dibawanya pula senapan
pemberian kakeknya, untuk berjaga-jaga.
Cukup jauh ia berjalan. Sebab, di
sekitar pondok tak ia temukan satu batang ranting pun. Sehingga memaksanya
berjalan lebih jauh lagi, memasuki hutan yang semakin lama semakin tak
mendapatkan sedikit pun cahaya. Beruntung ia membawa obor sebagai penerang.
Akhirnya, ia pun menemukan beberapa
ranting kering. Segera dipungutnya dan hendak dibawa pulang ke markas. Namun,
tiba-tiba matanya tertuju pada suatu gumpalan basah yang tampak menjijikkan. Ia
tak berani mendekat, pun dengan mencoba memegang gumpalan berupa lendir itu.
Seketika ia teringat perkataan kakeknya sewaktu ia mengatakan akan bersemmbunyi
di sebuah hutan.
“Jika menemukan gumpalan lender di
hutan, jangan kau pegang. Segera lah lari! Itu bekas sugihnya Hantu Mawang!”
ujar kakeknya berusaha mengingatkan cucunya perihal aturan-aturan yang berlaku
di hutan. Sebagai rasa sayangnya kepada cucunya, dihadiahkan lah sebuah senapan
agar dapat membantu cucunya kelak.
Bujang Harek bermaksud menjauh,
namun lagi-lagi pandangannya tertuju pada sesosok makhluk tinggi besar yang
berada sekitar 10 meter jauhnya. Tak jelas bagaimana rupa sosok itu. Bujang
Harek mengarahkan obornya ke arah dimana sosok itu berada. Seketika ia pun
terperanjat.
Dari jauh dengan bantuan penerangan
dari obor yang digenggamnya, tampak sesosok makhluk tinggi besar, berbulu
hitam, berambut panjang dan bertaring sedang menikmati hati segar dari pelanduk
yang terbujur kaku di tanah. Bujang Harek segera berlari tanpa menoleh ke
belakang. Di tangan kanannya tergenggam sebuah senapan, sedang di tangan
kirinya erat dipegangnya obor.
Sialnya, rupa-rupanya, makhluk itu
menyadari kehadiran Bujang Harek. Sehingga dikejarnya lah Bujang Harek.
Menyadari dirinya sedang dikejar, makin kencang lah Bujang Harek berlari.
Sambil berlari, Bujang Harek
mengingat-ingat pesan dari kakeknya dulu.
“Jadilah pemberani. Manusia adalah
makhluk Tuhan yang paling tinggi derajatnya. Memiliki akal dan iman!” ucapan
kakeknya itu pun terngiang-ngiang.
Bujang Harek menghentikan larinya.
Ia mengatur nafas. Tampak jelas wajahnya yang kemerahan karena kelelahan sekaligus
ketakutan. Namun, wajah itu segera kembali seperti tampak biasa saja, tatkala
Bujang Harek menguatkan dirinya untuk menunjukkan keberaniannya.
“Menghadapi penjajah Belanda dan
Jepang saja aku berani. Mengapa menghadapi makhluk asing aku harus takut?”
Dari kejauhan telah tampak sosok
makhluk tinggi besar itu. Makhluk itu bermaksud menakuti Bujang Harek. Namun,
Bujang Harek tak gentar sedikit pun. Malahan diarahkannya senapannya ke arah
makhluk itu.
“Door!” satu peluru tepat mengenai
dada makhluk bernama Hantu Mawang itu. Seketika roboh lah ia ke tanah.
Mendengar suara tembakan, rupanya
membuat kawan-kawannya berhamburan ke luar pondok dan berusaha mencari sumber
suara tembakan. Tentu saja kawan-kawannya itu mengkhawatirkan Bujang Harek.
Tak lama kemudian kawan-kawannya itu
sampai jua di tempatnya. Mereka terkaget-kaget sekaligus ketakutan tatkala
melihat makhluk asing yang sedang terkulai tak berdaya di tanah. Makhluk itu
memohon untuk ditembak sekali lagi. Namun, ditolak oleh Bujang Harek.
“Laki-laki pantang menembak dua
kali!” sahutnya tegas.
Makhluk itu pun bangkit, lalu lari
ke hutan. Meraung-raung kesakitan lalu lenyap dalam gelapnya hutan.
TAMAT
Bionarasi
Dian Chandra
atawa Hardianti, S.Hum.,M.Hum, lahir di Bogor, lalu besar dan menetap di
Toboali, Bangka Selatan. Bukunya yang sudah terbit Sapatha dari Negeri Seberang
(novel, 2021), Jalan-jalan di Bangka (puisi, 2022), Kepun (kumcer, 2023), Diary
para Hewan (fable dewasa, 2023), dll.
Email: dianchandrafiles@gmail.com
FB: Dian Chandra
Post a Comment