Pada Cinta, dalam Rahim Diskusi

Pada Cinta, dalam Rahim Diskusi
Dokumentasi Pribadi

Pada Cinta, dalam Rahim Diskusi

Kemudian aku rasai bahwa cinta (definisi cinta), selain memberi adalah membuka. Membuka sesuatu dalam makna yang luas dan panjang. Jika kamu mencintai seseorang, tugasmu adalah membuka apapun yang belum terbuka dari kekasihmu. Kekasihmu belum punya keberaniaan untuk melangkah berani, maka bukakanlah untuknya pintu keberaniaan sehingga kekasihmu melangkah menapaki keberaniaan tersebut.

Aku lihat, dalam beberapa kasus percintaan, seseorang yang telah sama-sama jatuh cinta, secara tiba-tiba jatuh dan tak mau mencintai lagi yang berakibat pada hubungan sepasang kekasih tersebut putus. Lalu aku tak berani menjustifikasi bagaimana setiap dari mereka memandang cinta. Sebab itu, aku menuju pelosok sebuah tempat di mana seorang guru hidup. Usah kuberitahu kau siapa namanya. Yang penting, dia adalah seorang yang telah mengenal hatinya.

Aku datangi rumah beliau. Di jalan, aku kehujanan, juga petir dan kilat menyeruak suaranya dalam relung dalam jiwaku. Syukur Allah sampaikan aku pada tempat di mana seorang itu duduk. Dari kejauhan,samar-samar kulihat ia menikmati asap yang keluar dari bibirnya. Aku dekati ia. Sampai di depannya dan ia melihatku, kutundukkan kepalaku. Dia tahu aku datang karena ingin mengajaknya diskusi. Maka tanpa basa-basi, sebelum ia masuk ke dalam rumah membikinkan kopi, kepadaku ia bertanya demikian: "Sudahkah kamu baca buku The Art of Loving, Cung?"

Dan karena dalam tulisan ini hendak kukutip dari beliau dawuh-dawuh, maka kutulis dalam format percakapan saja, Kawan.

Aku: "Bukunya Erich Fromm, Mbah?"

Beliau: "Ya"

Batinku, kenapa beliau bisa tahu? Sebab dari tampang dan penampilannya, kau tidak akan percaya kalau beliau tahu tentang filsafat-filsafat. Dan di tengah keheranan itu, tiba-tiba...

"Mengapa kamu patah hati karena cinta, Cung?"

"Karena aku mencintai dan dia sama sekali mencintaiku."

"Apa benar kamu mencintainya? Kalau kamu mengatakan kamu mencintainya, dengan apa kamu membuktikan cintamu?"

Aku diam seribu bahasa. Dan lagi-lagi mencerocos.

"Apa cinta menurutmu?"

"Cinta adalah rasa yang tidak bisa dijelaskan dan dikonsepkan, Mbah."

"Kamu bener sudah baca The Art of Loving?"

"Sudah, Mbah."

"Mengapa tak kamu praktekkan?"

"Tak mampu."

"Kamu tidak dipatahkan oleh cinta, Cung, tetapi oleh ekspetasimu. Cinta itu melahirkan kebaikan dan pendewasaan, bukan sakit yang berkepanjangan. Kamu tahu kisahnya Zainuddin dalam Tenggelamnya Kapal Vanderwick?"

"Ya, Mbah. Tapi itu kan fiksi?"

"Kau kira fiksi tidak mungkin terjadi?! Fiksi manusia ini dipengaruhi oleh logic. Fiksi dipengaruhi oleh logika realitas."

"Buktinya?"

"Pikir sendiri."

"Aku teguhkan sekali lagi, Cung. Kalau kau benar baca Erich Fromm, begini dia berpendapat: Cinta itu sebuah tindakan yang aktif dan produktif, dan juga sebuah kesatuan dengan pasangan tanpa harus kehilangan integritas dan keunikan masing-masing individu. Meskipun saling melebur dan bersatu, namun tetap menjaga keunikan dan integritas diri sendiri dan saling melengkapi satu sama lain. Sebab, cinta adalah ekspresi dari kehidupan itu sendiri, dan merupakan jawaban atas rasa terasing dan kesepian manusia." Beliau menjeda pembicaraan dengan meneguk kopi, menyulut rokok.

"Ada empat unsur dalam cinta kata Erich Fromm. Coba sebutkan!"

"Sahaya lupa, Mbah."

"Itu PR-mu. Kembalilah ke sini kalau kau mau, dan bawakan padaku pendapat Neitzche dalam memandang keberaniaan. Kau harus mengetahui keberaniaan sebelum mengenal cinta, Cung!"

"Gih, Mbah." Beliau lalu meraih kopi di depannya, disodorkan padaku.

Aku mengambil rokok dalam saku dan kemudian menyulutnya satu batang. Menikmati satu batang rokok sambil memandang rintik hujan dari teras rumah beliau.