Menelaah Kesusastraan Jawa Era Walisongo
Sumber: Pexels free, by: Serinus |
Menelaah Kesusastraan Jawa Era Walisongo
Pakar
sejarah menyebut bahwa Nusantara tidak hanya kaya akan bangunan-bangunan kuno
dengan arsitektur Hindu-Budha, tetapi juga kaya akan manuskrip-manuskrip yang
sangat berharga. Budaya literasi di Nusantara telah ada sebelum era walisongo. Hal
ini dibuktikan dengan banyaknya manuskrip-manuskrip yang ditemukan dengan
bahasa Kawi. Manuskrip-manuskrip tersebut bermacam-macam, ada suluk, kakawin,
macapat, hikayat, kidung, dan lain-lain.
Dalam
The Venture of Islam, Hodgson
menyatakan bahwa kemenangan Islam di Nusantara tidak hanya dipengaruhi oleh
praktik tradisi-ritual dan arsitek-material, tetapi juga intelektual yang
dimiliki oleh para penyebar Islam di Nusantara saat itu.
Membahas
tentang intelektual, tentunya kita akan membahas soal literasi. Sebab,
intelektual seseorang dipengaruhi oleh bacaan. Bila kita ingin mengkaji
literasi Nusantara, maka terlebih dahulu kita harus menelusuri sejarah Jawa. Pigeud,
dalam Literature of Java, mengatakan
bahwa gencarnya peradaban literasi di Nusantara ditemukan pada abad 9-14 M, era
Kediri-Majapahit, 15-17 M, era Demak-Madura-Bali, 18-20 M, dana bad 18-20 M di
era Surakarta-Yogyakarta.
Kelebihan
literasi Nusantara, menurut Zoetmulder, tidak hanya stagnan pada kekayaan
manuskrip-manuskrip tersebut, lebih dari itu adalah kemampuan menyadur ulang
manuskrip-manuskrip tersebut dengan bahasa yang bisa diterima dan dipahami oleh
masyarakat yang hidup di era tersebut.
Hal
itu dibuktikan dengan penyaduran dari Selakrama, kitab kakawin-Hindu, menjadi
kitab yang membahas tentang syariat Islam, yaitu Serat Dewa Ruci yang bisa kita
nikmati hingga saat ini. Tak hanya itu, beberapa saduran dari
manuskrip-manuskrip tersebut, salah satunya, Siklus Cerita Panji, bisa menyebar
sampai ke Malaysia, Kamboja, Vietnam, dan Thailand.
Era Walisongo
Sejarah
mencatat bahwa semenjak awal pesantren digagas oleh para penyebar Islam pada
abad 12 M di Nusantara, mereka sudah memperkenalkan karya-karya literasi
bercorak tasawuf-falsafi. pada masyarakat sebagai bentuk perbaikan moral dan
pendidikan. Pada abad ke-13 M, karya-karya bercorak tasawuf-falsafi semakin
diminati oleh masyarakat bersamaan dengan munculnya kerajaan Samudra Pasai,
Malaka, Ternate, Tidore, Banten, Gowa.
Sunan Bonang
Salah
satu contoh, Sunan Bonang mengomparasikan ajaran Ahlussunnah bercorak tasawuf
dengan paham ortodoks dan menyatukannya menjadi ajaran yang dapat diterima oleh
masyarakat. Luasnya pengetahuan beliau pada ilmu fikih, ushuluddin, dan tasawuf
menjadikan beliau dengan mudah menyadur ulang manuskrip-manuskrip Hindu-Budha.
Pemahaman Sunan Bonang tentang filsafat ‘cinta’ hamper mirip dengan konsep
Jalaluddin Rumi.
Hal
itu diidentifikasi dari suluk Sunan Bonang yang banyak menganalogikan tasawuf
cinta dengan tradisi-tradisi yang sudah mengakar kuat di masyarakat Jawa.
Beliau menulis suluk tersebut dengan pendekatan emic yang didasarkan pada kecenderungan pola piker masyarakat
sekitar. Itulah sebabnya, suluk Sunan Bonang dapat diterima oleh masyarakat
Jawa pada saat itu.
Tak
hanya menuangkannya dalam tulisan, Sunan Bonang juga mengimplementasikan
ide-idenya ke dalam bentuk tradisi. Gamelan Jawa adalah salah satu bukti karya
Sunan Bonang yang masih lestari sampai saat ini. Lengkap sudah, beliau juga
menggubah tembang-tembang (puisi) untuk dinyanyikan saat gamelan dimainkan.
Tembang-tembang yang digubah oleh Sunan Bonang memiliki nilai sastra yang
tinggi sehingga memicu penonton yang hadir untuk merasakan kedalaman makna
tembang beliau.
Genealogi Kesusastraan Nusantara
Estafet
kepengarangan kemudian berlanjut pada murid Sunan Bonang, yaitu Sunan Kalijogo.
Menurut sejarah, Sunan Kalijogo menyadur kakawin Selakraman karya Mpu Prapanca
menjadi serat Dewa Ruci yang masih masyhur hingga saat ini. Hal yang sama juga
dilakukan oleh Sunan Giri yang menyadur naskah Kojah-Kojahan menjadi
kitab-kitab panduan tasawuf-falsafi.
Selain Kojah-kojahan, ada banyak sekali manuskrip-manuskrip kuno ajaran Hindu-Budha, seperti kitab Samyuta Nikaya, Nitipraja, dan Sutta Nitapa, yang berhasil disadur ulang oleh para wali menjadi sebuah karya yang disampaikan dengan gaya bahasa sastra sehingga dapat dengan mudah diterima oleh banyak kalangan masyarakat.
Yang menarik dari karya-karya saduran para wali tersebut adalah gaya bahasanya yang tidak kaku dan kering, tetapi mengapresiasi dan menginkultrasikan nilai-nilai Islam secara damai. Faktanya, hal tersebut sangat efektif dan dapat mereap di seluruh lapisan masyarakat.
Post a Comment