Cinta dan Benci
Sumber: Pexels Free, by: Leeloo Thefirst |
Cinta dan Benci
Kata cinta
sudah tidak asing lagi bagi kita, apalagi bagi muda-mudi yang di setiap kepulan
asap dari secangkir kopi selalu ada dikusi mengenai cinta. Ketika kita mulai
diskusi tentang cinta, Mungkin yang terbesit dalam benak kita adalah sosok yang
kita dambakan, berparas ayu, mempunyai hidung mbangir, berkulit putih. Begitu juga dengan kata benci, antonim dari
kata cinta, mungkin yang tergambarkan ketika kata ini diucapkan adalah sosok
yang selalu menganggu hidup kita, pelajaran yang membosankan, atau hal-hal lain
yang tidak kita sukai.
Tidak
jarang seseorang yang mencintai sesuatu dapat dengan mudah melakukan suatu hal
yang di luar nalar, yang dalam keadaan biasa dia tidak dapat melakukannya.
Seperti ketika kita cinta pada novel, kita bisa menghabiskan waktu 24 jam
bahkan lebih untuk membacanya. Dan tidak jarang kita lupa makan dan lupa
mengerjakan tugas makalah dari dosen, karena sudah keasikan membaca novel. Begitu
juga dengan benci. Ketika kita sudah membenci sesuatu semua hal yang
berhubungan dengan sesuatu tersebut juga kita angap sebagai sesuatu yang sama
dengannya.
Begitu
juga ketika kita mencintai tokoh agama atau akademisi, kita cenderung melahab
semua perkataannya tanpa mengevaluasi terlebih dahulu, mengeklaim yang dia katakan
semua benar, bahkan yang serasa tidak tepat, kita cocok-cocokan sendiri. Bukan
hanya itu, ketika ada yang menyerang idola kita sudah pasti mereka salah.
Demikian halnya pada sosok yang kita benci atau sebuah golongan, semua yang dia
katakan entah itu baik atau buruk semuanya kita salahkan.
Bentuk
pemikiran demikian sudah marak dan mungkin secara tidak sadar kita pernah
melakukannya. Apalagi kalau kita melihat konteks globalisasi, yang kita tidak
luput dengan pengaruh media sosial. Hujat sana sini, mengomentari tanpa memilah
berita mana yang konkret dan mana yang hoax. Ketika tokoh yang kita cintai di
kritik dengan argumentasi objektif, kita malah membalasnya dengan cacian
subjektif, tidak mau mereka di salahkan walaupun itu kenyataannya memang salah.
Di
dalam agama tidak melarang cinta dan benci pada objek apapun, selagi masih
sesuai dengan kadarnya. Yang di larang hanya sikap kita yang terlalu berlebihan
mencintai dan membencinya, apalagi di bumbuhi dengan ekspresi yang tidak pernah
di ajarkan oleh agama.
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ
كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ
تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan bagimu berperang, padahal berperang itu adalah
sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik
bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk
bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (Q.S
Al-Baqarah[216]:2)
ayat di atas mengajarkan
kita jangan bersikap berlebihan dalam mencintai dan membenci. Mungkin sesuatu
yang menurut kita baik belum tentu baik dan sebaliknya. Hal ini kemudian
dikonfirmasi oleh mufasir asal iran Fakhruddin Ar-Razi
مَعْنى الآيَةِ أنَّهُ رُبَّما
كانَ الشَّيْءُ شاقًّا عَلَيْكم في الحالِ، وهو سَبَبٌ لِلْمَنافِعِ الجَلِيلَةِ
في المُسْتَقْبَلِ وبِالضِّدِّ
“Makna ayat ini adalah mungkin sesuatu yang engkau
anggap berat pada saat ini, di kemudian hari menjadi manfaat yang besar. Begitu
juga sebaliknya.”(Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir
Ar-Razi [606H])
Rasullah Saw. bersabda
untuk bersikap sewajarnya dalam mencintai dan membenci.
أَحْبِبْ حَبِيبَكَ
هَوْنًا مَا، عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا، وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ
هَوْنًا مَا، عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا ماَ
“Cintailah kekasihmu sewajarnya, mungkin
disuatu hari dia akan menjadi musuhmu. Dan bencilah musuhmu sewajarnya, mungkin
disuatu hari dia akan menjadi kekasihmu”(H.R.
Tirmidzi)
Adapun
solusi untuk mengatasi sikap berlebihan tersebut adalah dengan memikirkan
kembali, bahwa yang kita benci atau kita cintai adalah hanyalah sosok manusia,
yang tidak luput dengan kesalahan dan masih memiliki secuil kebaikan. Mungkin
di suatu saat nanti, orang yang kita cintai berubah, menunjukan sikap aslinya,
atau melakukan kesalahan yang tidak dia sengaja tapi amat kita benci, hingga
timbullah rasa benci tersebut. Atau ternyata orang yang kita benci selama ini,
adalah orang yang amat peduli dengan kita. Mereka secara sembunyi-bunyi
menolong kita ketika kita mengalami kesulitan, atau mereka mendoakan kita
selalu sehat dan di lancarkan semua urusan, atau mungkin di suatu keadaan kita
mengalami keterpurukan dan tidak ada seseorang yang mau menolong kita, akan
tetapi dia dengan sukarela mengulurkan tangannya membantu kita. Betapa malunya ketika
menyadari fenomena tersebut menimpa kita suatu hari nanti. Fata’ammal...
Wallhu A’lam
Profil Penulis: Fadilaturrahman, mahasiswa UINSUKA, jurusan Sosiologi Agama.
Post a Comment