Bab 8

 

Diksi-Diksi Patah

Ayo Bangkit

“Bangunlah! Menyesal dan bersedih tidak akan mampu mengubah hidupmu. Kau butuh gerak dan usaha, bukan tangis dan air mata, Kekasih.

Suatu malam Ketika Pajangan diguyur hujan, aku ke SMK untuk diskusi. Aku dan anak-anak magang telah bersepakat kalau setiap malam kita kumpul untuk mendiskusikan terjemahan. Aku bilang, untuk menetralisir kesalahan nerjemah, juga agar tidak terlalu nglantur dan jauh-jauh dari yang dimaksud mushannif[1]. Aku mengirim pesan pada Anwar, mengajak ke SMK Bersama. Akhir kata, aku dan dia berangkat ke SMK menaiki sepeda motor.

            Sampai sana kita diskusi. Kesepakatannya, setiap malam, setiap orang harus menerjemahkan lima halaman kitab asli. Kami duduk melingkar. Ingatkah, Kau, Dik, kerudungmu yang cokelat maroon dibias cahaya lampu terang itu menyala, menyilau kamera? Ingatkah, Kau, Dik, siapa yang paling eksis di antara kita berlima selaian kau, yang petakilan Ketika selfie? Apapun yang kuingat dari segalanya pada masa itu, bagiku bukan sekedar kenangan, lebih jauh dari itu, sebuah pelajaran yang bernama “Bahagia”. Ya, kau bisa bahagia kapan dan di mana saja.

Aku buka diskusi itu dengan bacaan “bismillah.” Kamipun diskusi. Malam itu aku menyuruh Anwar sebagai orang pertama yang membacakan dan mempresentasikan terjemahannya, karena kemarin, orang yang pertama mempresentasikan karyanya adalah aku sendiri. Kenapa aku menyuruh Anwar? Karena harapku, dia bisa dibuat contoh bagimu, Dik, juga bagi Lailana dan Kamila. Anwar membacakan hasil terjemahannya pelan-pelan. Khidmat dan khusyu’ benar.

Semua aku amati raut muka. Namun, kudapati Kamila sedang menunduk lesu. Sorot matanya menghadap ke bawah.

Kutanyai ia: “Kenapa, Mbak?”

“Endak, Mas, ndapapa,” jawabnya dengan kepala menunduk. Semuanya ikut memandangnya. Tak lama, ia masuk ke dalam kamar, entah untuk apa. Kasihan aku dibuatnya.

“Kenapa, Kang?” tanyaku pada Anwar.

“Gatau juga, Kang,” jawabnya.

“Yasudah, kita sudahi dulu diskusi ini. Besok saja dilanjut,” usulku.

Semuanya bubar, lalu keluar ruangan. Masakan sudah tersedia di atas meja depan sana. Aku ikut keluar. Di luar, aku bertanya padamu perihal Kamila, karena ia sendiri yang tidak sibuk dengan handphonenya.

“Mbak Kamila kenapa, Dik?”

“Ndatau, Mas. Tanyai saja,” jawabmu.

Buku Handphone Rahimahullah
Aku bergegas masuk ke dalam, memastikan Kamila sudah keluar kamar apa belum. Ternyata dia sudah duduk di kursi sambal menyeka air matanya.

“Hei, kau kenapa, Mbak?”

“Tak mengapa, Mas Aqib, tak masalah.”

“Tidak. Ayo, bicaralah!”

“Malu aku, Mas Aqib,” jawabnya sambil tersedu-sedu. Tangisnya sungguh menyanyat perasaan. Aku yakin dia sedang dilanda masalah besar, batinku. Kamila tetap diam saja tak mau bicara.

“Ceritalah, Mbak, tak mengapa. Kenapa kau?”

“Jangan di sini,” pintamu sambil tersedan lagi “..Mas.

“Di mana?”

“Di sana aja.” Kau menunjuk arah kantin SMK.

“Ayo.”

“Eh, tapi jangan, Mas, nanti kedengeran mereka.”

“Di sana aja, di belakang SMK, gimana?”

Kau masih menangis tersedu-sedu, lalu memaksa mengatakan dalam sedu itu: “Iya, Mas, di sana aja.”

Aku mengajaknya ke belakang SMK lewat pintu belakang. Tak ada kursi atau alas untuk dibuat duduk, aku ambilkan keramik bekas yang tercecer di sekitar, lalu kutaruh di dekatnya. “Duduklah,” kataku padanya. Ia masih tersedu-sedu.

Ia duduk di atas keramik itu, dekat gundukan pasir yang digunakan untuk membangun mushola di belakang SMK, guna peserta didik. Ia duduk sambil menyeka air matanya. Sebentar sekali setelah duduk, ia berdiri.

“Mau kemana, Mbak?” tanyaku.

“Sebentar, Mas, ambil tissue.”

Tak mengindahkan kataku ia masuk ke dalam ruangan, tak lama ia Kembali duduk. Masih menangis. Aku sudah duduk di atas keramik bekas yang kucari sendiri, tak jauh darinya.

“Kenapa kau sebenarnya, Mbak?” Aku membuka pembicaraan dengan nada yang kubuat selembut mungkin. Kata orang, Wanita akan luluh hatinya jika diperlakukan seperti anak kecil. Aku mempraktekkan padanya. Di usiaku yang baru seumur jagung, belum pernah aku berada di posisi seperti ini.

Ia menyeka air matanya, tersedu-sedu, dan memaksa bicara: "Malu aku, Mas.”

“Kenapa?”

“Hiks, hiks.”

“Bicaralah, Mbak! Aku tak akan bilang pada siapa-siapa.”

“Sebenarnya aku tidak bisa Bahasa Arab sama sekali,” katamu sambil tersedu-sedu. “Sebenarnya sebelum berangkat ke sini, aku sudah bertanya pada Siska perihal bagaimana keadaaan di sini.”

“Terus?”

“Iya, Mas, sebentar.” Ia tersedu-sedu.

“Siska bilang kalau di sini enak, nyaman, damai, dan tentram. Sebenarnya aku betah banget di sini. Tapi,” ia tersedak oleh tangisnya, “tapi aku malu karena tidak bisa nerjemah. Kau tahu, Mas, dari kemarin sebenarnya aku sudah ngetweet berkali-kali. Aku nerjamah itu satu persatu kata tak cari di kamus, lalu lama-lama aku malu karena ketika anak-anak sudah selesai nerjemah, aku dan Siska masih dapat satu paragraf. Aku harus bagaimana, Mas?!”

Kemudian ia menunduk, mengambil tissue beberapa lembar, lalu menyeka air matanya.

Aku ikut sedih. Hey, kawan, siapa yang tidak sedih ketika seorang yang menjadi tanggung jawabmu menangis sampai seperti itu? Akupun takt ahu bagaimana bisa ia mengeluh sampai sedalam ini. Tapi aku bangga bukan main, karena Kamila dan Siska sudah menyadari eksistensi seorang memahami ilmu-ilmu Tuhan. Aku tambah semangat ingin menemani mereka berdua belajar.

Kubiarkan ia menangis. Tak terasa aku ikut menitikkan air mata. Tak tega melihat ia menangis. Andai aku ibunya, atau ayahnya, atau kekasihnya, pastilah aku usap air matanya yang berharga itu; air mata yang jatuh karena kecemburuan ilmu. Ya Tuhan, bahagiakan ia dengan ilmu, sebagaimana sedihnya ia ketika cemburu pada ilmu.

Aku mengambil tissue tiga lembar, lalu menyeka air mataku.

“Sebenarnya sudah dari kemarin aku ingin bilang pada Mas Aqib, tapi aku takut Mas Aqib marah. Aku ta ingin ditertawakan di depan umum karena tidak bisa bahasa Arab. Apalagi aku jurusan sastra Arab.’

Buku Paradoksikal Hikmah
Info Terkini: Buku Paradoksikal Hikmah segera ready stock.

“Bangunlah! Menyesal dan bersedih tidak akan mampu mengubah hidupmu. Kau butuh gerak dan usaha, bukan tangis dan air mata. Yaudah, besok kamu sama Siska belajar nerjemah sama saya, Ya! Usulku. “Usah nangis. Aku tak manggil Siska dulu.”

Aku bangkit dari duduk, masuk ke dalam ruangan, dan memanggilmu.

“Dik!”

“Iya, Mas Aqib! Ada apa?”

“Ke sini,” kataku sambil melambaikan tangan, memberi isyarat agar kau mendekat.

Kau lalu mendekat.

“Ayo ikut aku!” Aku berjalan ke belakang. Kau mengikuti.

Sesampai di dekat Kamila, kau duduk tepat di dekatnya.

“Kenapa, Mbak?”

“Ndapapa, Sis.”

“Besok belajar bareng, waktunya siang dan malam.”

“Iya, Mas,” jawabmu.

Kamila sudah tidak menangis. Hanya menyisakan seduan. Kau masih diam menunduk. Sedang aku menatap kolong langit yang hitam, ada bintang gemintang bertaburan di sana. Tapi bulan sedang tidak menampakkan wujudnya. Entah, mungkin mataku yang tidak buram karena telah menatapmu dan mendapati wajahmu lebih bersinar dan berpendar melebihi bulan, dan ketika aku menatap bulan, mataku buram.

Lalu ke bawah, kusapukan pandangan ke sekitar. Gelap. Tak ada lampu yang menerangi halaman belakang SMK. Suasana saat itu sepi, tapi suara derik jangkrik, suara kodok bangkong “kang-kong kang-kong” benar-benar terdengar nyaring.

Lebih dari itu, Dik, suara gemuruh hatiku dan gelegar suaranya jelas-jelas terasa bunyinya di dada. Kau tahu sebabnya? Jelas! Karena kau berada di dekatku malam itu, Kekasih.

NB: Bagi kalian yang ingin mengirimkan karya, silakan membuka kolom Kirim Karya di bagian website paling bawah. Kami tunggu karyamu untuk tayang di Sabda Diksi. Semangat.



[1] Penulis kitab asli