Bab 7

Diksi-Diksi Patah, Bab 6

Kamila

“Tapi entah, kebanyakan wanita senang menyiksa kekasih, dan menggantungkan kepastian di balik kepedihan dan penyiksaan sikapnya. Kau sendiri seperti itu, bukan?”

            Namanya Kamila. Entah, bagaimana kabarnya saat ini. Aku harap, dia baik-baik saja di sana, entah di Malang, Kepanjen, atau di Jombang. Hahaha. Aku ingin bercerita soal kenangannya di Baitul Kilmah. Kau sudah lupa? Pastilah tidak. Mari, duduklah di teras rumahmu saat kau baca tulisanku ini. Jangan lupa segelas Taro kesukaanmu itu taruhlah di atas meja, sebagai teman paling setia setelah air mata.

            Beginilah menurut yang aku ingat saat itu sebelum datangnya:

Sebelum Kamila datang, aku telah mengenalnya sebagai gadis lucu dan lugu sepertimu. Kau selalu menantinya datang, karena katamu, dia adalah sahabat. “Kamila wanita yang penyabar dan periang.” Aku Kau perlihatkan wajah Kamila di layar ponselnya. Kudapati Kamila mengenakan kemeja abu-abu dan berkerudung hitam. Cantik benar, batinku.

Kau bilang Kamila datang malam Senin. Setelah mengajarnya di SMK, aku bertanya: Kamila jadi ke sini malam ini, Dik? Kau bilang bahwa Kamila tak jadi datang. Ada keperluan lomba yang harus Mila selesaikan, Mas, jawabnya. Dia juga seorang pengajar di SMK di sana.

Selesai mengajar, aku diajak Adik makan. Memang benar kata pepatah, witing tresno jalaran soko kulino, bahwa cinta lahir dan tumbuh dari sebuah kebiasaan; kebiasaan bertemu, kebiasaan berbagi cerita, lalu lama-lama rasa tumbuh tak disengaja. Tapi tidak semua yang bertemu akan jatuh hati juga, bukan? Kau sering membangunkanku ketika pagi, dengan menelepon. Lalu ketika aku angkat teleponnya, dia mematikan. Kulihat isi pesannya singkat, tapi begitu memikat dan membuatku terperanjat: Ayo bangun Mas Aqib. Ayo makan. Kesehatanmu penting.

Uh, lalu laki-laki mana yang tidak keseper diperlakukan olehnya macam itu? Aku yakin, andaikata Kamila memberi sepucuk harapan seperti itu kepadaku, mungkin aku akan jatuh hati padanya. Kata orang, laki-laki selalu lemah soal perhatian. Sekejam dan sekuat dan segagah dan segigih apapun lelaki, kalau diperhatikan oleh seorang wanita lembut dan bersahaja, akan takluk, akan lemah.

Laki-laki, sekuat dan segagah apapun dia, kalau disakiti oleh perempuan, akan kalah, akan lemah, dan akan pasrah. Mungkin sebagian dari lelaki kuat dan tegar itu menangis di pojok kamarnya sendiri. Meski aku bukan laki-laki kuat juga tegar, aku tidak bisa membohongi hatiku yang memaksaku untuk melabuhkan rasa padamu.

Kamila pastilah tahu kalau Kau memang dianugerahi oleh Tuhan daya pikat yang lebih. Tutur katamu lembut berwibawa. Wajahmu teduh, seperti laut yang terlihat ombaknya di tepian senja ketika akan menghilang. Penat yang dibawa sebelum melihat panorama itu, hilang sudah. Aku, pun kalau punya masalah besar macam gunung, ketika melihat senyummu mengambang, seperti hilang sudah gunungnya, muncul taman bunga.

Esoknya, ketika aku makan siang di SMK, Kau bilang Kamila akan datang nanti malam pada jam 00.00 WIB.

“Nanti tolong pinjam sepeda ya, Mas,” katamu.

“Iya,” jawabku.

Anwar dan Lailana sedang makan. Setiap pagi, kami berkumpul di SMK untuk sarapan. Kurasai, aku seperti mempunyai keluarga baru.

Dari habis Maghrib, aku dan Anwar ke SMK. Aku mengendarai sepeda motor, Anwar juga. Untuk penjemputan nanti malam, butuh tiga sepeda motor. Di SMK, Kau dan Lailana sedang masak. Entah masak apa. Aku dan Anwar duduk di kursi mewah di teras SMK. Kursi kayu yang besar dan megah, dengan ukiran khas Jepara. Aku juga belum mengerti, berapa lama kursi ini sudah di sini.

“Kamila itu orang mana, Kang?” tanyaku pada Anwar

“Malang, Kang.”

“Oalah, Malang. Dekat dengan rumahmu?”

“Lumayan, Kang.”

Kau keluar dari dalam ruangan SMK dengan membawa nasi, sementara Lailana membawa lauk dan gorengan tempe, keduanya lalu menaruhnya di atas meja.

Kami makan. Setelah makan, berangkat ke Lempuyangan. Anwar memboncengku, Lailana dan Kau sendiri-sendiri naik motor.

Jalanan panjang Yogyakarta yang ramai dan damai menjadi saksi atas mereka. Udara sedang sejuk. Hiruk-pikuk dan hingar-bingar malam itu seperti laut: riuh benar.

Saat di perempatan lampu merah, Kau berteriak-teriak: “aaa”, sambil merentangkan tangan. Mungkin efek terlalu penat belajar di Pajangan, batinku.

Lailana bilang: “Seru ya, Mas. Uuu, rasanya kek healing beneran.”

“Selama di Yogyakarta, aku belum pernah ke Malioboro.”

“Masak iya?”

“He’em.”

Lampu hijau menyala. Anwar melaju, meliuk-luk melewati sepeda motor, mobil, menyalip, diikuti Lailana, kemudian Kau.

Jam 00.00 WIB kami sampai di Lempuyangan. Aku dan Anwar menunggumu memberi kabar.

“Lho, Kamila lucu,” katamu.

“Maksudnya lo,” tukas Anwar

“Katanya mau naik becak.”

“Lha, kan sudah kita jemput, ngapain naik becak?” tanyaku

“Gatau, Mas, hehe. Kelamaan paling.”

“Mana, pinjem hpmu!”

Kau menyodorkan hpnya, lalu kuraih dan memvideo call Kamila. Berdering, namun tidak langsung diangkat. Beberapa saat, Kamila mengangkatnya. Aku memperlihatkan wajahku yang tertutupi masker.

“Assalamualaikum, Pak,” sapa Kamila saat mengerti bahwa aku yang memvideo call.

“Haha, bukan Pak,” aku tertawa terpingkal, “tapi kang.”

“Kau di mana?”

“Di depan stasiun Tugu, Kak.”

Aku menutup video call, lalu mengajak Anwar menghampirimu dan Lailana yang sudah berada di pinggir jalan. “Ayo!” pintaku.

Kami lalu menyusuri jalan malam itu. Suasana Yogyakarta sepi, tak seperti biasanya, dikarenakan adanya peraturan PPKM level entah. Di depan stasiun Tugu, seorang gadis bergaun cokelat, bermasker putih, melambai-lambai. Kau menyadari dan langsung belok. Lailana berhenti. Sedang aku dan Anwar kebablasan, lalu balik arah mendekati mereka.

            Ternyata itu Kamila. Aku tak tahu. Dari badanmu yang terlihat seperti gitar itu, aku yakin kau pastilah cantik, seperti di foto yang kau perlihatkan kepadaku kemarin. Kau berlari mendekati Kamila, juga Lailana ikut di belakangnya. Kamila memelukmu mesra, mesra sekali, lalu Lailana. Setelah berpelukan, kalian mendekatiku. Kamila mengajakku bersalaman. Ingin aku ulurkan tanganku, Lailana menukas, “Tidak akan mau!” Kamila tertawa, Kau juga ikut tertawa.

            “Aku bawa barang banyak,” kata Kamila.

            “Sini, aku bawakan,” pintaku.

            Lalu ia mengangkat koper cokelatmu dan meletakkannya di pangkuanku. Ingatkah Kau, Mila? Indahnya rasa malam itu.

            “Udah makan?” tanyaku padanya.

Aku masih memakai masker dan bertopi bundar seperti pengemis-pengemis. Topi berwarna biru dongker itu sudah terlihat sangat usang. Topi itu aku pinjam dari Doyok. Aku menganggap topi itu adalah guruku. Ia mengajariku tabah. Dulu, awal-awal ketika di Yogyakarta, aku selalu memakainya kemanapun aku pergi. Ia juga mengajariku agar tidak gengsi. Lama kupakakai, sepertinya topi ini telah menjadi teman setia.

            “Udah.”

            “Ayo cari warung saja, Mas. Kita kongko di sana,” usulmu.

            “Iya, kau yang cari!” tukas Anwar.

            “Aku gatau daerah sini!”

            “Di sana saja,” sela Lailana sambil menunjuk ke arah depan.

            “Ayo, sambil jalan saja,” kataku.

            Kamila menaiki sepeda motor yang dikendarai Lailana, sementara Kau sendiri, uh, saat itu rasa-rasanya aku ingin turun dari sepeda motor dan memboncengmu, Kekasih. Tapi saat itu. Kini, mungkin hanya sebuah air mata yang dapat mewakili perasaan itu.

            Kamipun menyusuri jalanan Yogyakarta, melewati jalan Malioboro, alun-alun Utara, lampu-lampu lalu lintas. Udara saat itu sejuk sekali, menenangkan. Yogyakarta memang seperti yang dikatakan banyak penyair, terbuat dari pulang, rindu, dan angkringan.pernak-pernik lampu menyala bersamaan saat hatiku berbunga-bunga. Perasaan yang tumbuh saat ini padamu seperti tanaman jagung yang dipupuk; tumbuh pesat.

            Planning awal kita cari makan dan kongko tak jadi karena Kamila bilang pada Lailana kalau dia sudah capek. Kamipun langsung kembali ke SMK. Sesampainya di SMK, Kamila menari-nari. Hey, kawan, aku suka cewek yang hyperaktif! Aku menurunkan koper cokelatnya dari pangkuanku dan membawanya ke teras SMK. Kamila kemudian membawanya ke dalam kamar.

Sejurus kemudian, kau masuk ke dalam, lalu keluar.

“Bikinin kopi, Sik!” pinta Anwar.

“Iya itu tadi merajang air,” jawab adik. Lailana sibuk memandangi handphonenya. Entah. Kata Anwar, ia sudah punya pacar. Aku mengeluarkan rokokku dari dalam saku, dan mengambil satu batang, lalu menyulutnya.

“Rokok, Kang,” kataku pada Anwar. “Dik, rokok lo.” Aku menatap tajam wajahmu. Indah sekali yang kudapati.

Adik masuk ke dalam, berpapasan dengan Kamila yang membawa sekantong plastik berisi jajan. Dekat kami, ia membuka kantong plastik itu, dan mengeluarkan satu persatu jajanan. Lailana masih fokus memandang handphone. Sementara Anwar menikmati rokok. Katamu Lailana, semenjak di sini, Anwar sering merokok, padahal ketika di Malang, ia sangat jarang merokok.