Bab 7
Kamila
“Tapi entah, kebanyakan wanita senang menyiksa kekasih, dan
menggantungkan kepastian di balik kepedihan dan penyiksaan sikapnya. Kau
sendiri seperti itu, bukan?”
Namanya Kamila.
Entah, bagaimana kabarnya saat ini. Aku harap, dia baik-baik saja di sana,
entah di Malang, Kepanjen, atau di Jombang. Hahaha. Aku ingin bercerita soal
kenangannya di Baitul Kilmah. Kau sudah lupa? Pastilah tidak. Mari, duduklah di
teras rumahmu saat kau baca tulisanku ini. Jangan lupa segelas Taro kesukaanmu
itu taruhlah di atas meja, sebagai teman paling setia setelah air mata.
Beginilah menurut
yang aku ingat saat itu sebelum datangnya:
Sebelum Kamila datang, aku telah mengenalnya sebagai gadis lucu dan
lugu sepertimu. Kau selalu menantinya datang, karena katamu, dia adalah
sahabat. “Kamila wanita yang penyabar dan periang.” Aku Kau perlihatkan wajah
Kamila di layar ponselnya. Kudapati Kamila mengenakan kemeja abu-abu dan
berkerudung hitam. Cantik benar, batinku.
Kau bilang Kamila datang malam Senin.
Setelah mengajarnya di SMK, aku bertanya: “Kamila
jadi ke sini malam ini, Dik?” Kau bilang bahwa Kamila tak jadi datang.
“Ada keperluan lomba yang harus Mila selesaikan, Mas,” jawabnya. “Dia juga seorang pengajar di SMK di sana.”
Selesai mengajar, aku diajak Adik makan.
Memang benar kata pepatah, witing tresno jalaran soko kulino, bahwa
cinta lahir dan tumbuh dari sebuah kebiasaan; kebiasaan bertemu, kebiasaan
berbagi cerita, lalu lama-lama rasa tumbuh tak disengaja. Tapi tidak semua yang
bertemu akan jatuh hati juga, bukan? Kau sering membangunkanku ketika pagi,
dengan menelepon. Lalu ketika aku angkat teleponnya, dia mematikan. Kulihat isi
pesannya singkat, tapi begitu memikat dan membuatku terperanjat: “Ayo bangun Mas Aqib. Ayo makan. Kesehatanmu penting.”
Uh, lalu laki-laki mana yang tidak keseper
diperlakukan olehnya macam itu? Aku yakin, andaikata Kamila memberi sepucuk
harapan seperti itu kepadaku, mungkin aku akan jatuh hati padanya. Kata orang,
laki-laki selalu lemah soal perhatian. Sekejam dan sekuat dan segagah dan
segigih apapun lelaki, kalau diperhatikan oleh seorang wanita lembut dan
bersahaja, akan takluk, akan lemah.
Laki-laki, sekuat dan segagah apapun dia,
kalau disakiti oleh perempuan, akan kalah, akan lemah, dan akan pasrah. Mungkin
sebagian dari lelaki kuat dan tegar itu menangis di pojok kamarnya sendiri.
Meski aku bukan laki-laki kuat juga tegar, aku tidak bisa membohongi hatiku
yang memaksaku untuk melabuhkan rasa padamu.
Kamila pastilah tahu kalau Kau memang
dianugerahi oleh Tuhan daya pikat yang lebih. Tutur katamu lembut berwibawa.
Wajahmu teduh, seperti laut yang terlihat ombaknya di tepian senja ketika akan
menghilang. Penat yang dibawa sebelum melihat panorama itu, hilang sudah. Aku,
pun kalau punya masalah besar macam gunung, ketika melihat senyummu mengambang,
seperti hilang sudah gunungnya, muncul taman bunga.
Esoknya, ketika aku makan siang di SMK,
Kau bilang Kamila akan datang nanti malam pada jam 00.00 WIB.
“Nanti tolong pinjam sepeda ya, Mas,”
katamu.
“Iya,” jawabku.
Anwar dan Lailana sedang makan. Setiap
pagi, kami berkumpul di SMK untuk sarapan. Kurasai, aku seperti mempunyai
keluarga baru.
Dari habis Maghrib, aku dan Anwar ke SMK.
Aku mengendarai sepeda motor, Anwar juga. Untuk penjemputan nanti malam, butuh
tiga sepeda motor. Di SMK, Kau dan Lailana sedang masak. Entah masak apa. Aku
dan Anwar duduk di kursi mewah di teras SMK. Kursi kayu yang besar dan megah,
dengan ukiran khas Jepara. Aku juga belum mengerti, berapa lama kursi ini sudah
di sini.
“Kamila itu orang mana, Kang?” tanyaku
pada Anwar
“Malang, Kang.”
“Oalah, Malang. Dekat dengan rumahmu?”
“Lumayan, Kang.”
Kau keluar dari dalam ruangan SMK dengan
membawa nasi, sementara Lailana membawa lauk dan gorengan tempe, keduanya lalu
menaruhnya di atas meja.
Kami makan. Setelah makan, berangkat ke
Lempuyangan. Anwar memboncengku, Lailana dan Kau sendiri-sendiri naik motor.
Jalanan panjang Yogyakarta yang ramai dan
damai menjadi saksi atas mereka. Udara sedang sejuk. Hiruk-pikuk dan
hingar-bingar malam itu seperti laut: riuh benar.
Saat di perempatan lampu merah, Kau
berteriak-teriak: “aaa”, sambil merentangkan tangan. Mungkin efek terlalu
penat belajar di Pajangan, batinku.
Lailana bilang: “Seru ya, Mas. Uuu,
rasanya kek healing beneran.”
“Selama di Yogyakarta, aku belum pernah
ke Malioboro.”
“Masak iya?”
“He’em.”
Lampu hijau menyala. Anwar melaju,
meliuk-luk melewati sepeda motor, mobil, menyalip, diikuti Lailana, kemudian
Kau.
Jam 00.00 WIB kami sampai di Lempuyangan.
Aku dan Anwar menunggumu memberi kabar.
“Lho, Kamila lucu,” katamu.
“Maksudnya lo,” tukas Anwar
“Katanya mau naik becak.”
“Lha, kan sudah kita jemput, ngapain naik
becak?” tanyaku
“Gatau, Mas, hehe. Kelamaan paling.”
“Mana, pinjem hpmu!”
Kau menyodorkan hpnya, lalu kuraih dan
memvideo call Kamila. Berdering, namun tidak langsung diangkat. Beberapa saat,
Kamila mengangkatnya. Aku memperlihatkan wajahku yang tertutupi masker.
“Assalamualaikum, Pak,” sapa Kamila saat
mengerti bahwa aku yang memvideo call.
“Haha, bukan Pak,” aku tertawa
terpingkal, “tapi kang.”
“Kau di mana?”
“Di depan stasiun Tugu, Kak.”
Aku menutup video call, lalu mengajak
Anwar menghampirimu dan Lailana yang sudah berada di pinggir jalan. “Ayo!”
pintaku.
Kami lalu menyusuri jalan malam itu.
Suasana Yogyakarta sepi, tak seperti biasanya, dikarenakan adanya peraturan
PPKM level entah. Di depan stasiun Tugu, seorang gadis bergaun cokelat,
bermasker putih, melambai-lambai. Kau menyadari dan langsung belok. Lailana
berhenti. Sedang aku dan Anwar kebablasan, lalu balik arah mendekati mereka.
Ternyata
itu Kamila. Aku tak tahu. Dari badanmu yang terlihat seperti gitar itu, aku
yakin kau pastilah cantik, seperti di foto yang kau perlihatkan kepadaku
kemarin. Kau berlari mendekati Kamila, juga Lailana ikut di belakangnya. Kamila
memelukmu mesra, mesra sekali, lalu Lailana. Setelah berpelukan, kalian
mendekatiku. Kamila mengajakku bersalaman. Ingin aku ulurkan tanganku, Lailana
menukas, “Tidak akan mau!” Kamila tertawa, Kau juga ikut tertawa.
“Aku
bawa barang banyak,” kata Kamila.
“Sini,
aku bawakan,” pintaku.
Lalu
ia mengangkat koper cokelatmu dan meletakkannya di pangkuanku. Ingatkah Kau,
Mila? Indahnya rasa malam itu.
“Udah
makan?” tanyaku padanya.
Aku masih memakai masker dan bertopi
bundar seperti pengemis-pengemis. Topi berwarna biru dongker itu sudah terlihat
sangat usang. Topi itu aku pinjam dari Doyok. Aku menganggap topi itu adalah
guruku. Ia mengajariku tabah. Dulu, awal-awal ketika di Yogyakarta, aku selalu
memakainya kemanapun aku pergi. Ia juga mengajariku agar tidak gengsi. Lama
kupakakai, sepertinya topi ini telah menjadi teman setia.
“Udah.”
“Ayo
cari warung saja, Mas. Kita kongko di sana,” usulmu.
“Iya,
kau yang cari!” tukas Anwar.
“Aku
gatau daerah sini!”
“Di
sana saja,” sela Lailana sambil menunjuk ke arah depan.
“Ayo,
sambil jalan saja,” kataku.
Kamila
menaiki sepeda motor yang dikendarai Lailana, sementara Kau sendiri, uh, saat
itu rasa-rasanya aku ingin turun dari sepeda motor dan memboncengmu, Kekasih.
Tapi saat itu. Kini, mungkin hanya sebuah air mata yang dapat mewakili perasaan
itu.
Kamipun
menyusuri jalanan Yogyakarta, melewati jalan Malioboro, alun-alun Utara,
lampu-lampu lalu lintas. Udara saat itu sejuk sekali, menenangkan. Yogyakarta
memang seperti yang dikatakan banyak penyair, terbuat dari pulang, rindu, dan
angkringan.pernak-pernik lampu menyala bersamaan saat hatiku berbunga-bunga.
Perasaan yang tumbuh saat ini padamu seperti tanaman jagung yang dipupuk;
tumbuh pesat.
Planning
awal kita cari makan dan kongko tak jadi karena Kamila bilang pada Lailana
kalau dia sudah capek. Kamipun langsung kembali ke SMK. Sesampainya di SMK,
Kamila menari-nari. Hey, kawan, aku suka cewek yang hyperaktif! Aku
menurunkan koper cokelatnya dari pangkuanku dan membawanya ke teras SMK. Kamila
kemudian membawanya ke dalam kamar.
Sejurus kemudian, kau masuk ke dalam,
lalu keluar.
“Bikinin kopi, Sik!” pinta Anwar.
“Iya itu tadi merajang air,” jawab adik.
Lailana sibuk memandangi handphonenya. Entah. Kata Anwar, ia sudah punya pacar.
Aku mengeluarkan rokokku dari dalam saku, dan mengambil satu batang, lalu
menyulutnya.
“Rokok, Kang,” kataku pada Anwar. “Dik,
rokok lo.” Aku menatap tajam wajahmu. Indah sekali yang kudapati.
Post a Comment