Kamu Harus Tahu Kaidah Ushul Fikih Ini, Kawan!
Kamu Harus Tahu Kaidah Ushul Fikih Ini, Kawan!
Kaidah Ketujuh
“Sebuah dalil tidak boleh digunakan (tidak dianggap) jika bertentangan dengan yang sudah jelas (tashrih)”.
Kaidah ini adalah kaidah pokok sekaligus kaidah fikih. Dari perspektif dalil yang menjadi dasar dari ketetapan hukum: kaidah pokok, sedang dari prespektif yang berhubungan dengan semua perbuatan mukallaf (orang Islam yang telah balig dan menyandang kewajiban hukum Islam): kaidah fikih.
Dalil ada yang menghasilkan suatu keyakinan, juga ada yang menghasilkan dzonn (prasangka yang lebih banyak benar). Hakikat makna dalil adalah yang menghasilkan sebuah keyakinan, karena keyakinan tidak dapat diperoleh kecuali dengan sebuah (dalil) nash dan sharih (jelas), atau qiyas shohih (analogi hukum dengan nash-nash suatu hukum) yang tidak kontroversial.
Jika sebuah dalil menghasilkan dzonn (prasangka yang lebih banyak benar)
maka hal itu adalah persangkaan, masih belum dikatakan dalil, tetapi disebut dalil
dzonn. Sebuah dalil dzonn yang menghasilkan suatu keyakinan
ada dua kategori, antara dalil qothi’ah (dalil
yang pasti) dan dalil yaqiniyyah (dalil
yang bersifat keyakinan).
Dalil dzonniyah (dalil yang bersifat prasangka) sudah cukup untuk
menetapkan suatu hukum, selama tidak berseberangan dengan nash yang jelas (shorih), atau qiyas yang secara jelas berdasar
nash yang shorih atau asal ketetapan yang tidak kontroversial – sebagaimana
yang akan kami jelaskan:
Makna kaidah yang telah dijelaskan di atas: persangkaan (dalil dzhon) yang menunjukkan diperbolehkan atau tidaknya suatu perbuatan tidak dianggap, jika berseberangan dengan (dalil) yang lebih kuat dari persangkaan tersebut, yaitu jelasnya hukum tentang haram atau haramnya, dengan izin atau tercegah.[1] Sebab, dalil (yang bersifat dzhon) lebih diunggulkan dari dalil sharih yang dha’if (lemah).
Identifikasi (dalil) atau persangkaan (immarah), sebagaimana yang didefinisikan oleh Ar-Razi dalam Al-Mahsul[2]: “Sesuatu yang memungkinkan seseorang untuk mencapai sebuah persangkaan dengan tinjauan yang benar (shohih).”
Sedangkan menurut ulama ushul dalam
hal mencapai pengetahuan hukum mempunyai banyak jalur, beberapa di antaranya
adalah perbandingan dari segi peristiwa, waktu, dan tempatnya. Dari (segi sudut
pandang) dalil-dalil, persangkaan-persangkaan, atau waktu dari
penjabaran/pembagian yang anda inginkan, maka semuanya bermakna satu, atau
berdekatan: mirip.
Metode mengetahui hukum sebagaimana
yang dikatakan Ar-Razi: “Suatu yang ditinjau secara benar (shohih) yang dapat
menghasikan; bisa kepada pengetahuan dengan sesuatu yang dituju (madlul), atau kepada persangkaan
terhadap sesuatu.”[3]
Ada banyak sekali gambaran dari
kaidah ini yang akan kami sebutkan, beberapa di antaranya adalah permasalahan
lain yang dianalogikan dengan kaidah ini:
Seorang lelaki memasuki rumah-rumah
yang pemiliknya memperbolehkan memakan makanan yang ada di dalam rumah
tersebut, seperti rumah orangtua, (rumah bapak dan ibu), atau rumah saudara.
Laki-laki tersebut mendapati makanan yang berada dalam sebuah wadah dan ia
meraih wadah tersebut untuk mengambil makanan di dalamnya. Wadah itu terjatuh
sehingga pecah. Maka, dia tidak diwajibkan untuk mengganti wadah tersebut dengan
harga beli atau dengan wadah yang sama sebab adanya perbuatan yang diizinkan untuk
memakan makanan tersebut. Berbeda
bila pemilik rumah melarangnya untuk memakan makanan tersebut, atau mengambil
wadah yang berisi makananan atau minuman dengan larangan yang jelas, maka dia
(laki-laki) harus mengganti wadah tersebut dengan harga beli, atau harus dengan
wadah yang sama bentuknya. Sebab, kejelasan (dalil)
dapat membatalkan hukum yang dizinkan terhadap dalil keadaan.
Hukum diperbolehkannya makan pada contoh rumah ini
di-nash dalam firman Allah surat An-Nur[4] -
disandarkan pada yang menyertai keadaan, dan izin secara umum dalam memasuki
rumah ini di waktu yang bermacam-macam tanpa dosa/terganggu karena kuatnya
kekerabatan dan baiknya hubungan. Namun, jika dalil-dalil (alasan-alasan
diperbolehkannya hal tersebut) ini bertabrakan dengan dalil (sebab) yang lebih
kuat seperti adanya larangan (untuk memasuki rumah) dengan jelas (tashrih)
atau semacamnya, seperti mengambil makanan di tempat yang terkunci, atau dijauhkannya makanan dari ruang duduk,
maka tidak boleh mengomsumsi barang sedikit pun dari makanan tersebut.
Bila seorang bersikukuh memakannya, maka ia berdosa, dan
mengganti rugi harga makanan yang telah dimakan atau dirusakkan, jika pemilik
rumah menuntut makanan ini. Sebab, disimpannya makanan di tempat tertutup
adalah dalil tidak diperbolehkannya (memakan). Dan dalil ini lebih kuat
daripada diperbolehkannya memakan. Maka, dalil yang lebih kuat lebih
didahulukan daripada dalil yang lemah.
Jika
kaidah ini kamu khususkan hanya untuk bab doman (tanggungan) maka akan
terbatas. Dan jika kamu jabarkan pada yang lain dan kamu kembangkan pada
beberapa jalan dalam bab-bab permasalahan lain, maka kamu akan dapat kamu
kategorikan sebagai kaidah (lagi).
Kamu telah mengetahui isi penjabaran kitab ini – perbedaan antara kaidah dan batasan (dhobit). Cermatilah itu!
Kaidah Kedelapan
“Mengutamakan orang lain dalam
masalah ibadah adalah makruh, sedang dalam urusan selain ibadah adalah sunnah.”
Kata
“al-qurbu”– dengan didhommah huruf
qof-nya dan ro’ yang difathah– adalah bentuk jamak dari kata “qurbatun” yang bermakna pekerjaan yang
dapat mendekatkan diri seorang hamba kepada Tuhannya. Maka termasuk sesuatu
yang disunnahkan adalah tidak mengutamakan orang lain dalam perkara yang dapat
mendekatkan seorang hamba kepada Tuhannya. Karena hukumnya adalah makruh.
Sebab, adab seorang hamba dengan Allah Swt adalah bersegera (melakukan sesuatu
yang dapat mendatangkan) kepada ridho Allah Swt dengan ibadah-ibadah, dan
bersaing dalam masalah ibadah dengan hamba-hamba yang lain.
Adapun
mengutamakan orang lain dalam hal selain ibadah adalah sunnah, karena firman
Allah Swt dalam surat Al-Hasyr: wa yu`ṡirụna
'alā anfusihim walau kāna bihim khaṣāṣah (dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam
kesusahan)[5]
Beberapa
penjabaran(masalah furu’) dari kaidah
ini adalah sebagai berikut:
·
Jika seorang muslim hanya memiliki air
yang cukup untuk berwudhu untuk dirinya sendiri, maka ia tidak boleh memberikan
air tersebut kepada orang lain (agar orang lain bisa berwudhu) sedang ia
bertayammum. Sebab, wudhu adalah masalah ibadah. Juga, ia tidak diperbolehkan
bertayammum selama masih ada air air yang cukup untuk berwudhu. Lain hal jika
ada orang lain yang membutuhkan minum karena kehausan, maka ia sebaiknya
memberikan air tersebut pada orang yang sangat membutuhkan, dan ia bertayammum.
·
Jika ada seorang muslim yang suaranya
bagus ketika azan dan di masjid tidak ada muadzin yang terjadwal, maka ia tidak
boleh mengutamakan orang lain untuk azan karena keutamaan dan keagungan pahala
azan, dan anjuran dalam menyegerakan pelaksanaan azan.
·
Jika seorang muslim telah berada di shaf
(barisan) pertama, maka tidak diperbolehkan mendahulukan orang lain untuk
menggantikannya, sebab adanya keutamaan di shaf pertama salat.
Banyak sekali hadits yang meriwayatkan tentang keutamaan azan dan shaf awal, beberapa diantaranya adalah hadits riwayat Imam Bukhori dalam kitabnya Shohih Bukhori: Dari Abi Hurairah – radhiyallahu anhu – bahwa Rasulullah Saw. bersabda: ““Seandainya manusia mengetahui apa yang ada (keutamaan) di dalam seruan (adzan) dan shaf pertama, kemudian mereka tidak bisa memperoleh shaf tersebut kecuali dengan diundi, maka mereka akan melakukan undian untuk mendapatkannya…” (Hadits).
Artikel ini merupakan terjemahan dari kitab Qawaid al-Fiqqiyyah baina al-Ashilah wa at-Tawjih karya Syaikh Muhammad Bakar bin Ismail.
[1] Ingat, jika ada hukum yang lebih
kuat dari dalil yang sharih (jelas)
[2] Jilid 1, hal 106, penerbit lajnah ta’lif wa at-tarjamah wa an-nasyr di
Saudi Arabia
[3] Al-Manshul, Jil 1, Hal 97
[4] Laisa ‘ala al-a’ma kharojun, wa la ‘ala al-maridhi kharojun...
[5] Ayat 9, surat Al-Hasyr. Lafadz
“al-khososoh”: membutuhkan, kesusahan.
Post a Comment