Cari Kaidah Ushul Fikih? Yuk Baca Artikel Ini!
Sumber: Pexels fre, by: Fauxels |
Kaidah Kelima
“Jika berkumpul tujuan dan dalil berupa ucapan atau perbuatan, maka sebuah hukum harus berurutan.”
Ketahuilah,
bahwa sebuah lafadz (kata) mengidentifikasi pada dalil (bukti) terhadap
sesuatu. Sedang lafadz dan maknanya seperti dua ujung yang terpisah. Jika kita
memahami makna-makna sebuah lafadz, maka kita dapat mengomparasikan dengan
makna-makna lain dari lafadz tersebut dalam segi tujuan ketika menetapkan
sebuah hukum, Kita juga dapat terbantu dengan adanya indikasi-indikasi implisit
sebuah kata, tulisan, secara subjektif maupun adat. Jika sebuah makna lafadz
telah stagnan bersamaan dengan tujuannya, maka hukum syariat harus berurutan
sesuai hal tersebut.
Sebuah
hukum tidak boleh berurutan atas dasar tidak adanya esensi indikasi bukti perbuatan
atau perkataan, juga tidak boleh berurutan atas dasar makna dari lafadz
tersebut tidak diketahui oleh yang mengucapkan terkait amiyah (bahasa
Arab yang tidak formal) atau ajam-nya (bahasa selain Arab) lafadz
tersebut.
Sebagian dari kemudahan agama Islam adalah bahwa Allah Swt mengampuni ummat (manusia) dari sesuatu (dosa) yang terpikirkan nafsu selama belum dilakukan dan dibicarakan. Allah Swt juga mengampuni perkataan ummat yang keliru, lupa, dan dipaksa, atau tanpa dasar, jika tidak objektif pada makna asli sebuah kata, atau tidak menghendaki hakikat makna kata tersebut. Karena sesungguhnya bisikan-bisikan hati dan nafsu tidak termasuk dianggap (ikhtiyar).
Andaikata diterapkan hukum berurutan (mulai dari bisikan hati samapi dikatakan
atau dilakukan), maka dosanya sangat besar dan sangat merepotkan ummat. Rahmat
Allah Swt menolak/berkebalikan dengan hal tersebut, begitu juga pada
kekeliruan, lupa, atau keterpaksaan, dan hukum yang ada padanya, seperti dalam
keadaan sangat marah, terpelesetnya lisan berkata yang tidak dikehendaki,
perkataan yang tidak dimengerti maksud dan penerapannya. Semua itu tidak
dihitung dosa oleh Allah Swt sebagai bentuk rahmat (belas kasih) dan keutamaan
dari-Nya.
Beberapa
perkara ini dihukum ma’fu (diampuni) sebab telah di-nash dalam Al-Qur’an
dan hadits:
Seorang yang mengobservasi dalil-dalil ini, pasti menemukan banyak sekali penjabaran objek. Semua dalil-dalil tersebut terkumpul dalam firman Allah Swt di akhir surat Al-Baqarah: (“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan.
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya.
Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami,
maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir”).
Diriwayatkan
terkait asbabun nuzulnya (sebab turun) ayat itu adalah ketika turun firman
Allah Swt: (“Milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.
Jika kamu nyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya
Allah memperhitungkannya (perbuatan itu) untukmu”)[1]
(pemahaman) Ayat itu berat atas para sahabat dari perspektif ke-umuman ayat,
lalu Allah Swt memberitahu mereka tentang maksud dari ayat tersebut dengan
firman-Nya: “la yukallifullahu nafsan illa wus’aha – sampai akhir ayat[2]
Dalil
hadistnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim:
Dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah
Swt mengampuni dari ummat Sesungguhnya Allah memaafkan umatku suatu bisikan
dalam hati (niat jahat yang timbul dalam hati) selama belum dikerjakan atau
diucapkan.”[3]
Dan
hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah Ra, ia berkata: Rasulullah Saw
bersabda, bahwa Allah Swt berfirman: “Jika hambaku terbesit untuk melakukan
kemaksiatan, maka belum dicatat melakukan kemaksiatan. Dan jika dilakukan, maka
dicatat melakukan satu kemaksiatan saja. Namun, apabila dia memiliki niat untuk
berbuat baik meskipun belum dilakukan, maka sudah dicatat telah melakukan satu
kebaikan. Dan bila dilakukan, maka dicatat dengan sepuluh kebaikan.”[4]
Kaidah
ini terdapat di antara fatwa Ibnu Qoyyum – semoga Allah merahmatinya – di
biografinya dari kaidah: Yang dianggap dalam permasalahan akad (transaksi) dan
perbuatan adalah tjuan (melakukan). Sedang niat itu tanpa didasari kejelasan
sebuah perkataan dan perbuatan.” ( kitab I’lam Al-Muwaqqi’in, bagian 3).[5]
Menurut
Ibnu Qoyyum, dalam hal kaidah ini, ada beberapa fatwa yang mengecualikannya
dari yang makruf (benar) menurut jumhur ulama fikih, bahwa penetapan
hukum dengan kejelasan maksud suatu kata dalam masalah akad (transaksional)
adalah wajib dengan alasan sa’dud ad-dara’i (mecegah terjadinya bahaya)
dan menjaga hak-hak, selama tidak menduduki maksud kata lain yang konkret atas
tidak adanya maksud yang jelas dari lafadz tersebut, yaitu ditakwilkan
(dijabarkan) dengan perbuatan yang jauh sekali (dari konteks) ketika lafadz
tersebut telah terperinci.
Kemudian
Ibnu Qoyyum berkata: Suatu lafadz dari perspektif tujuan, niat, dan orientasi
pengucapnya ketika mengucapkan lafdz tersebut ada tiga macam:
1. Kedudukan lafadz sudah jelas. Kejelasan suatu
lafadz berorientasi pada keyakinan atau kepastian, tergantung kehendak
pengucapnya ketika mengucapkan suatu lafadz, indikasi-indikasi keadaan, gaya
bahasanya, dan lain sebagainya.
2. Kejelasan pengucap tidak memberi tujuan makna
perkataannya. Kejelasan ini bermuara pada batasan yakin, sekiranya seorang
pendengar tidak ragu-ragu dalam perkataan tersebut.
3. Sebuah lafadz yang maknanya sudah jelas, ada
kemungkinan pengucap menghendaki makna tersebut bisa juga tidak menghendakinya,
serta tidak adanya dalil dari kedua perkara ini. Sebuah lafadz menunjukkan
maksud yang dituju, juga datang dengan makna yang lain.[6]
Kaidah Keenam
“Maksud suatu kata adalah sesuai pengucapnya, kecuali pada satu tempat, yaitu sumpah di hadapan hakim.”
Kaidah ini melengkapi kaidah pertama yang bermakna bahwa sebuah kata mempunyai makna-makna tertentu dan terbatas, tetapi juga ada makna yang diikutsertakan (pada kata itu) yang justru dapat memuat lebih banyak dari makna sebenarnya (yang dimaksud), seperti kata “daging”, secara etimologi berarti daging hewan, ayam, dan ikan.
Jika seseorang bersumpah bahwa ia tidak makan daging, dan ia telah memakan ayam atau ikan, maka ia adalah orang yang jujur dalam perkataannya jika yang ia maksud (dari perkataannya) adalah daging hewan, bukan daging burung dan daging ikan. Karena yang dianggap (dari suatu kata) adalah tergantung niatnya, kecuali dalam hal persidangan/hukum.
Sebab, yang dihitung dari lafadz adalah yang disumpahi (hakim), bukan yang bersumpah. Jika seorang hakim berkata pada terdakwa, misal: “Apakah fulan memiliki (utang) sepuluh mata uang (dinar)?”, lalu terdakwa menjawab: “Tidak, tidak sepuluh mata uang (dinar)”, dan terdakwa menghendaki dari ucapannya lebih dari sepuluh, maka niat ini tidak dibenarkan, tetapi termasuk niat yang bohong dan menipu, juga menyia-nyiakan hak.
Bila seorang suami berkata pada istrinya: “Kamu sudah kucerai”, lalu si istri melapor permasalahannya (ucapan suaminya) itu pada hakim. Suami berkata kepada hakim: “Aku menghendaki ucapanku seperti ini: Kamu tidak terkekang, atau kamu bebas dalam bertasarruf (membelanjakan harta), dan semacamnya” – maka ucapan seperti ini tidak diterima, juga makna yang dikehendakinya. Sebab ucapannya “kamu sudah kucerai” jelas mengandung makna lepas.
Praktek
berlakunya kebijakan ini berada pada penanggungan segala hak, dan mencegah
seorang yang menyangkal untuk menghindar dari yang telah dibebankan kepada
pelaku dan komplotannya.
Bagi
hakim, wajib untuk mengintrogasi terdakwa dari hal-hal kecil sampai hal-hal
besar untuk menjelaskan kemuskilan, menghilangkan kemanipulatifan, dan
membatasi pengakuan. Seorang hakim juga tidak (boleh) memperkenankan terdakwa
untuk bergurau dalam perkataannya dan membalikkan fakta tuduhan dengan
(pengakuan) palsu dan kontroversial.
Begitu
juga, hakim harus memberlakukan hal-hal tersebut kepada para saksi, karena
pernyataan mereka harus jelas dan mengarah (pada hal-hal yang didakwakan) serta
tidak bohong dan manipulatif.
Dari sini, maka (jelas) seorang laki-laki yang didelegasikan dan dipilih sebagai hakim harus laki-laki cerdas, pintar, tidak terpengaruh oleh pernyataan-pernyataan manis, perilaku baik, dan tidak terppengaruh oleh suap dari terdakwa dan saksi sebelum (berlangsungnya persidangan).
Terjemahan dari kitab Qawaid al-Fiqqiyyah baina al-Ashilah wa at-Tawjih karya Syaikh Muhammad Bakar bin Ismail.
[1] Surat Al-Baqarah ayat 284
[2] Lihat sebab turunnya (ayat tersebut) di Shohih Muslim: Kitab Iman, hadits
ke 200.
[3] Hadits dalam kitab Shohih Bukhor: Kitab Memerdekakan Budak (Al-Itqu),
bab Al-khoto’ wal an-nisyan fi al-‘ataqoh wa at-tholaq
[4] Shohih Muslim: Kitab Iman, hadits 203
[5] Hal 95: 105, cetakan Kulliyat Al-Azhariyyah.
[6] Jilid 3, Hal 107, dan seterusnya.
Post a Comment