Ini Bukan Tulisan. Namun, Biarkan Semesta yang Menilainya

Sumber: Pexelsfree, by: Suzy Hazelwood


Oleh: Mawan*

Aku mau menulis, tetapi aku bingung menulis tentang apa. Aku juga tidak berharap apakah ini jadi tulisan atau tidak? Yang jelas, aku menulis.

Anak yang malang dan malas pulanglah ke kampung! Sudah tidak ada yang peduli dengan keberadaanmu, apalagi percaya padamu. Di kota yang manis ini, kamu seperti dedauan kering yang jatuh lalu disambar kendaraan tua; Kering, tak berdaya lalu hancur.

Seruan ini selalu muncul dari arah mana saja yang ia suka: “Pulanglah dari kota perantauanmu wahai kamu yang malang dan malas.” Dulu, katanya kota perantauan ini adalah kota yang manis dan bisa menciptakan para intelektual dan pemikir yang hebat. Tapi, aku yakin kamu adalah aku yang berbeda. Ya, aku! aku yang malang dan malas dalam persoalan apapun. Aku yang tidak memiliki kemampuan satu pun apalagi memiliki orang yang aku sayangi dan disayangi. hidupkah aku? Sebagian menyatakan “iya”, sebagian lagi menyatakan “tidak”, sedang aku tidak pernah berada dalam kedua bagian tersebut.

Bagaimana aku bisa berada dalam dua bagian itu bila aku tidak tahu siapa dan di mana aku. Memang hidup tidaklah terus gelap. Tapi, kali ini ia begitu gelap dan selalu ada di sampingku. Kadang, taka da angina tak ada badai, ia bertanya: “Kenapa aku terus gelap, dan sampai kapan?” atau “apakah aku ditakdirkan hidup bersama gelap?” Sebagian menyatakan “iya”, sabagian lagi menyatakan “tidak”. Dan lagi-lagi aku merasa tidak berada dalam kedua bagian tersebut. Namun, gelap atau tidak-nya aku, aku adalah jawabannya bukan orang lain. Makanya aku tidak berhak berada dalam bagian yang dipilihkan sebagian orang. Biarlah aku yang malang dan malas ini tetap gelap. Mengapa begitu? Sebab, dalam kegelapan aku bisa melihat terang yang menyala di luar sana.

Terkadang aku harus dipaksa berpikir, di usiaku seperti aku masih seperti dulu: bodoh, malas. Apalagi tidak bisa melakukannya banyak bagi orang lain. Disisi lain, itu harus disyukuri. Masalahnya, hanya itu yang aku punya. Tidak heran di kamar yang sepi dan ditemani kegelisahan, selalu ada bisakan bahwa aku orang yang tidak punya masa depan dan mudah dibohongi. Bukannya aku tidak mau keluar, hanya saja di luar itu sendiri sudah tidak mau menemui aku yang malang ini. Disini aku baru paham hanya kesepian, kesendirian dan kegelapanlah yang bisa menerima aku sambil menghibur. Itu pun, kalau mereka tidak lagi sibuk mengurus orang-orang sepertiku juga. Tapi aku yakin orang seperti aku, tidak banyak, mereka tersembunyi dan mereka seperti artis papan atas (sulit ditemukan, mudah dibicarakan).

Aku pernah hampir menemukan diriku, saat itu aku berjalan di tengah kota sambil melihat gedung-gedung tinggi dan mewah, tidak disengajai aku melihat gubuk tua yang di dalamnya hanya kardus dan sampah, di samping gedung itu. Gubuk itu milik seorang tukang becak  kesehariannya mencari nafkah untuk bisa makan dan minum walau kadang sulit mencarinya. Zaman sudah berubah , di era teknologi ini semua dituntut serba canggih, pragmatis dan harus kelihatan mewah, sehingga orang-orang dibuat merasa tidak nyaman saat naik becak.

Bagi tukang becak itu walau zaman sudah berubah, becak masih menjadi senjatanya untuk mencari nafkah dan tidak peduli dengan persaingan yang serba canggih lalu mematikan pekerjaan orang lain. Lelaki selalu tersenyum dan bersyukur dengan keaadan seperti itu. keaadan dimana bagi orang lain itu meresahkan dan memuakkan. Di dalam benakku, aku selalu memujinya “lelaki kuat, percaya diri, tidak kenal lelah, berani hidup di tengah-tengah persaingan yang mematikan dan masih banyak lelaki itu”.

Di situlah aku hampir menumukan diriku lewat perkataan leklaki itu; untuk merubah diriku sesuai dengan zaman sekarang, aku harus bagaimana? dan apa yang harus dilakukan? jika sudah tau apa yang dilakukan, dari mana aku memulainya? di kota ini semua orang sibuk dengan kepentingan mereka masing-masing. Dan kamu tau, hanya becak yang aku punya. ia selalu membantu dan menemaniku dalam keaadan lapar dan haus. Tidak ada manusia yang semanusia becak itu. Kemudian zaman memaksakan  aku untuk berpindah darinya, lebih baik aku kehilangan zaman ini dari pada kehilangan becak-ku, dengan becak ini aku bisa hadir dan melihat zaman sekarang ini. Canggih, berkembang, Indah, tapi kotor akan kerakusan. Dan aku mencoba tidak menyesalinya.”

Setelah pulang dari gubuk itu, di sepanjang jalan sampai mau tidur aku terus memikirkan perkataan tukang becak itu sambil bertanya; apakah itu adalah jawaban dari pertanyaan dalam diriku? bukan soal pekerjaan dan keadaannya tapi, cara dia melihat pekerjaan dan keadaannya dengan penuh pendirian dan moral sebagai pondasi kehidupan. Aku harus belajar darinya untuk melihat kehidupanku yang malang ini.

Keesokan harinya, di pagi cerah dan anggun  saat orang-orang masih ceriah sambil menyiapkan sarapannya. Aku dikagetkan dengan keresahan sendiri; “sekali lagi kamu tidak memiliki apa-apa, untuk menemukan dirimu saja kamu tidak mampu apalagi ingin memiliki sesuatu di luar dirimu? siapakah kamu? bukankah tidak memiliki apapun selain malas dan bodoh? kemudian, hidupkah kamu sebagai manusia?” pikiranku berontak kembali dan resah dengan kehidupan semacam ini dan jelas aku berbeda dengan tukang becak itu, bahkan dia lebih mulia dari pada aku. Segala cara sudah dicari dan dicoba untuk menjawab “siapa diriku atau pantaskah aku hidup” namun gagal dalam kemalasan.

Suatu ketika, aku duduk dan masih dalam keadaan yang sama yaitu tetap mencari jawaban atas diriku, aku muak, kesal dan tidak tahan terus seperti ini. Aku harus pulang ke kampung! di mana tempat paling aman serta nyaman untuk hidup. Tidak ada lagi yang harus dituntaskan dan bersikap bodoh amat pada setiap persoalan. Sekali lagi aku harus cepat pulang dari kota ini! Tidak disengajai terdengar suara radio tentangga bersuara “mengambil keputusan itu mudah apalagi dalam keadaan kesal dan marah, yang sulit adalah bertanggung jawab dan mempertahankannya.

Banyak orang mampu memutuskan tapi tidak banyak orang menyesal dengan keputusannya.” Seketika apa yang sudah direncanakan dengan sempurna runtuh begitu saja dan aku terpaksa memikirkan jawaban tentang diriku kembali. Entah harus kemana lagi aku harus pergi.

Di sela-sela mencari jawaban itu, aku menemukan kertas terselip di selembaran koran tua yang sebagain sudah dimakan rayap. dalam kertas itu tertulis “Ilmu sudah dikumpulkan dan buku sudah dicetak. Jika kita masih menjadi orang bodoh, keterlaluan!!!” atas nama Syekh Mahfudz at tarmasi al jawi. Setelah membaca tulisan itu, aku seketika meresa sakit seperti tubuh ini habis ditusuk-tusuk, lalu diteteskan jeruk nipis pada bagian terluka. Perih, tidak ada obat penawarnya, sekali lagi perih. Aku baru sadar di kota ini ilmu pengetahuan sudah tersebar luas di mana-mana dibandingakan dengan kampung halamanku.

lalu apa yang membuat malas dan bodoh tidak berdaya?  Kemudian, aku melihat dari kegelapan masih ada cahaya terang di luar sana, serasa aku ingin mengambilnya, seolah-olah cahaya itu mengatakan bahwa perkataan Syekh Mafhudz adalah pintu pertama yang akan membuka rahasia tentang diriku sebenarnya yang selama ini masih gelap dan tidak ditemukan, meskipun tulisan itu bukan sebagai pintu pertama, ia hanyalah sebagai arah menuju pintu pertama.

Belum selesai sampai di sini, perjalanan menemukan diriku baru saja dimulai dan aku memulainya dengan membuat tulisan ini. Dan akan ada tulisan atau karya yang bermanfaat lainnya yang lebih mengakagetkan. Terlepas dari apakah cacatanku di atas ini, dianggap sebagai tulisan atau tidak.  Aku berharap ini bukan tulisan biarlah semesta yang menilainya.


Profil Penulis: Mawan, mahasiswa Universitas Yogyakarta. Pecandu Filsafat.