Bab 4

Kau Datang

“Ketika bertemu denganmu dan intens membimbingmu setiap hari; pagi, siang, dan malam, semua yang kupikir dan kuasumsikan tentang cinta lenyap tak tersisa. Aku telah fana padamu.”

         Di sini, benar-benar telah kurasai, bahwa hidup mengajarkanku bagaimana seorang laki-laki harus berdiri di kaki sendiri. Hari-hariku teratur. Pagiku adalah malam yang kuisi dengan tidur. Karena bagiku, malam adalah tempat terbaik untuk menulis, dan otak sedang encer-encernya. Kalau suntuk, aku jalan-jalan menikmati panorama di sekitar-sekitar saja.

Kata orang, di manapun tempat, tetaplah bergantung bagaimana hati kita menyifatinya. Sebaik, sedamai, seindah apapun tempatnya, kalau hatimu sedang tidak baik-baik saja, apa bisa kau nikmati? Pastilah tidak.

Sudah lima bulan aku di Pesantren Kreatif ini, kuikuti pula alurnya, segala mobilitas manusia-manusianya. Dan seperti itulah hidup bermasyarakat: kecemburuan sosial, benturan adab dan tatakrama, tiada akan lekang. Pada banyak orang, pasti dijumpai beragam permasalahan. Karena Semua tentang manusia—tidak hewan, tidak pula tumbuhan, jin, dan malaikat.

Manusia adalah makhluk kontroversial yang tiada habis. Oh....bagaimanapun tekanan, masalah, bertubi-tubi datang memporak-porandakan ketenangan seseorang, atau bahagia membelah kesedihan dan kepedihan, tiada akan didapati semua manusia senang. Pastilah congkak di antara mereka ada dan dijumpai, Kawan.

Jangan heran makanya pada siapapun ia yang tiba-tiba menjauhi dan mendeklarasikan diri di depan orang-orang kepercayaanmu bahwa ia sekarang memusuhimu. Tapi bagaimanapun bentuk dan ekspresi mereka menampakkan ketidaksenangan dan kebencian, tetaplah menjadi bijak. Jadilah pemaaf, Kawan. Karena hatimu adalah neraka bersamaan benci meradang lama di sana: di hatimu: tempat jauh dari bagian tubuh luarmu.

Karena di sini, kurasai, pelajaran harus juga perlu didapatkan dari kesendirian, karena di dalamnya, jernihlah pikirmu terolah oleh gemuruh suara dalam kalbu. Karena itu pula, aku sudah terbiasa menyepi dan menyunyi.

***

Hingga pada suatu hari ketika kemarau melanda bumi Pajangan, aku sakit – entah virus corona atau bukan, tiada aku punya kepastian. Dan berhari-hari aku mendekam di kamar. Saat itu, Bapak meneleponku, mengabari bahwa Ibu sedang sakit. Bapak juga bilang kalau adikku belum dikirim uang oleh Ibu. Ekonomi keluarga sedang seret, katanya.

            Ini hari Selasa, tanggal 13 Maret, 2021. Pukul 17.00 WIB. Karena khawatir dengan keadaan Ibu, aku pulang –meski dengan kupaksa tubuhku yang ringkih tersebab sakit.

Perjalanan panjang kutempuh dengan gigil yang benar di dalam bus. Kusempatkan untuk menjenguk dan memberi uang kepada adikku di Kudus. Karena itu, aku pulang lewat Magelang, Semarang, dan Kudus.

Jam 23.00 WIB baru aku sampai Kudus, di terminal Jati. Lengang jalanan sekitar terminal itu. Hanya beberapa orang yang kudapati. Seorang bapak-bapak berjaket hitam tiba-tiba menghampiriku dan bertanya: “Mau ke mana, Mas? Ke Menara?”

“Iya, Pak,” jawabku padanya dengan ramah.

“Mari, Mas, biar saya antarkan.”

“Berapa, Pak?”

“Dua puluh, Mas.”

“Iya, Pak.”

Bapak itu menyalakan motornya dan menghampiriku. Diberikan helm kuning kepadaku dan lekas aku memakainya. Melajulah aku bersama dia membelah jalanan Kudus yang lengang. Agak hafal sudah aku jalanan itu. Ini bukan pertama kalinya aku kemari. Sudah kesekian kalinya tiada aku menghitungnya.

Setelah sampai Menara Kudus, aku membayar ojek dan duduk-duduk di teras masjid al-Aqsha. Sebenarnya mau ziarah ke makam Sunan Kudus, tapi pintu masuk area pemakaman sudah ditutup. Kata penjaga makam, semenjak COVID, gerbang kompleks pemakaman makam Sunan kudus sudah ditutup setelah jam 22.00 WIB.

Pada akhirnya aku tidur di teras masjid al-Aqsha berbantal tas yang hanya kuisi kaos satu dan sarung satu untuk ganti. Paginya, pagi benar, takmir masjid membangunkan tidurku. Mau mengepel lantai, katanya. Menggigil tubuhku karena angin malam. Semakin sakit kurasai tubuhku.

Dengan memaksa aku melangkah ke bawah Menara, mencari teduh di sana. Aku meletakkan tubuhku di sana. Apa yang kulakui, tiada niat kecuali titah dari orangtua. Maka tidak ada yang harus lebih diutamakan oleh seorang anak kecuali berbakti kepada orangtua! Aku tahu itu. Kata guruku, sebanyak apapun amal baik seorang, setinggi apapun jabatan, seluas apapun pengetahuan, bila tiada adab dan tatakarama terhadap orangtua, maka tak ada artinya.

Sebentar setelahnya, adzan Shubuh menggema dari TOA masjid. Aku kemudaian melangkah ke tempat wudhu, lalu masuk ke dalam masjid. Sholat dua rakaat sebelum Shubuh. Setelahnya, aku khusyuk mendengar syair-syair guna menunggu jamaah datang.

Setelah Shubuh, aku makan di warung dekat Menara. Lalu membelikan jajanan untuk kubawa ke adikku.

“Khoirotun Nafi’ah, Mbak,” jawabku ketika ditanya pengurus di ruang tamu perihal alasanku datang.

Njenengan tunggu ya Mas,” katanya ramah.

“Iya, Mbak.”

Pengurus itu lalu meninggalkan aku dan masuk ke dalam. Tak lama, adikku datang. Ia mencium tanganku saat bersalaman. Kuserahkan padanya jajanan yang kubeli tadi.

“Bentar, Kak, jajannya tak berikan kepada teman-teman dulu. Mereka sudah menunggu, hehe,” katanya bersamaan melangkah masuk lagi menenteng jajanan seplastik merah besar. Sengaja aku belikan jajanan banyak tapi murah, karena aku tahu anak pondok memanglah butuh banyak jajan. Dan uniknya, bagaimanapun rasa jajan, selama itu di pondok, akan habis.

Beberapa saat ia datang lagi. Ia mengajak keluar untuk membeli sabun dan peralatan lain yang dibutuhkan. Aku menemaninya. Kuajak ia makan soto kerbau di sebelah gang kecil sebelum masuk pondoknya, kemudian mengantarkannya kembali ke pondok. Di depan gerbang masuk, kuserahkan uang kepadanya.

“Yang semangat, Nduk,” kataku.

“Iya, Kak,” jawabnya. Kemudian mencium tanganku. Aku kembali. Dengan menaiki ojek aku menuju terminal. Hari itu siang hari. Jalanan menuju terminal jati begitu ramai hiruk-pikuk manusia. Panasnya cuaca membikin tubuhku berkeringat. Agaknya sakitku tiada lagi. Kurasai sudah sehat.

Sampai di terminal, aku menaiki bus Indonesia menuju Tuban. Sepanjang perjalanan, sakitku kambuh.Menggigil lagi tubuhku terkena angn yang masuk lewat celah jendela bus yang terbuka. Sepanjang perjalanan itu, kupaksa tidur, akan tetapi tidak bisa. Sepanjang perjalanan itu, kurasai

Lalu siapa yang tidak betah di rumah? Bukankah rumah adalah tempat ternyaman setelah perjalanan panjang, tempat melepas kerinduan pada kampung halaman tempat kau dilahirkan? Pastinya, aku juga seperti itu. Maka, kunikmati masa-masa di rumah. Meski bukan hari libur, aku merasai saat itu adalah liburan.

Entah hari apa saat itu, – aku lupa– Yai mengirimkan pesan padaku, mengabarkan bahwa ada anak-anak magang dari Universitas Negeri Malang datang untuk belajar menerjemahkan kitab. Beliau menyuruhku kembali. Pada akhirnya, aku kembali menumpangi bus dari arah Tuban ke Jombang. Di Jombang, kutemui kakek-kakek duduk di atas becaknya.

“Mau kemana, Le?” tanya kakek.

“Ke Yogyakarta, Mbah.” Kutawari ia rokok, tapi tak mau. Kulihat, ia menyelipkan sebungkus nasi ke tempatnya menaruh uang hasil jerih payahnya bekerja. Untuk anaknya, pikirku.

Sejurus kemudian,bus datang dari arah selatan. Kakek melambai-lambai, memberi isyarat pada kondekturnya bahwa ada penumpang menunggu. Bus itu berhenti tepat di depanku.

“Terima kasih, Kek,” kataku pada kakek mengiringi langkahku memasuki bus.

Tepat tengah malam aku sampai di Giwangan. Dan kau tahu sendiri bukan, di mana Giwangan itu? Sudahlah, usah malu-malu kau baca ceritaku ini. Katakan saja jika ketika kau membacanya, perasaan alay, jijik, menyelimuti pikirmu.

Aku disambut oleh teman-teman di Giwangan. Karena terlalu larut malam, mereka mengajakku menginap di rumah Rehan, salah satu temanku juga. Rumahnya tak jauh dari Giwangan. “Esok saja ke Pondoknya,” kata Husni. Aku manut dan menurut.

Malam itu, aku dan teman-teman tidur rumah Rehan. Esoknya, sekitar pukul 08.00 WIB, aku dan teman-teman kembali ke Pondok. Di manapun pondoknya, kalau teman sekamar, sepondok pulang, yang dinanti dan ditunggu adalah oleh-olehnya, bukan orang. Seperti itulah pengalamanku. Usah kau justifikasi aku egois dengan pendapatku sendiri, hehe.

Pagi itu aku membeli jajan di warung dekat Pondok. Aku membeli agak banyak, karena ketika di rumah, teman-teman memberiku kabar bahwa kita ketambahan saudara, anak-anak SMK. Ya, Pondokku semakin besar, dan aku semakin tidak merasa kesepian.

Setelah membeli jajan, aku kembali ke pondok. Sampai sana, Doyok telah menanti saya. Jajan kubengkalaikan di teras pendopo, aku mengajaknya ke pondok putri.

Di sana, kusapai satu-satu mbak-mbak Pondok. Hanya tiga santri cewek di sini. Di sana, Doyok sedang berbincang dengan kekasihnya, sementara saya merokok di teras. “Oiya. Mas, dawuh Kiai, ada anak UM magang di sini,” kataku.

“Iya, Kang, “ jawabnya, lalu memanggil namamu, Dek.

“Mbak, mbak!” sahut Doyok, “Ini lo, dicari pembimbing penerjemahan.”

“Iya, Mas!”

Lalu kau, berkerudung kuning dengan pakain semu putih, dan Lailana, berkerudung merah muda, menghampiriku sambil malu-malu. Aih, kau lucu juga, begitu benakku berkata pada waktu itu. Aku masih ingat, kau membawa gitar kecil milik Mas Jhon, sementara Lailana merapikan kerudungnya.

“Oh, kalian tho, yang mau magang di sini.” Lekat-lekat kutatap wajah kalian berdua, tanpa aku beda-bedakan, meski sebenarnya aku sudah menganggapmu lucu pada saat itu.

“Hanya dua tho, Mbak?”

“Tiga, Mas, tapi yang satu masih lomba. Besok Sabtu insyaAllah berangkat,” jawabmu.

Agaknya aku lama menatapmu saat itu. Kulontarkan kata-kata candaan, “Kalau dilihat dari muka-mukanya, tidur mereka tidak kurang dari dua puluh jam, Yok,” kataku pada Doyok.

Mereka semuanya tertawa. Akupun ikut tertawa. Aku tak tahu, Dik, entah apa yang kau pikirkan saat itu. Besar kemungkinan kau menganggapku aneh. Maka jika sekarang kau membaca tulisanku ini, usah malu-malu, jawablah saja saat kita bertemu nanti –entah kapan.

Tak lama kemudian aku kembali ke pondok putra. Sesampainya di pondok putra, aku turun ke bawah, menuju kamar. Aku melihat tiga cewek berseragam pramuka berjalan.

Kusapa mereka dan kutanyai, “Anak-anak SMK?”

“Iya, Kang,” jawab mereka serentak.

“Siapa namamu?” tanyaku.

“Nada,” jawab sebelah kiri.

“Wiwik,” jawab yang tengah.

“Aling,” jawab yang kanan.

Aku kemudian masuk ke kamar. Ternyata seorang pemuda sedang menatap layar laptopnya. Karena terlihat sangat fokus dan sibuk, aku enggan menyapanya. Dia hanya menatapku. Aku keluar kamar dan merokok dengan teman-teman. Dan aku masihlah ingat, seorang itu memakai pakain batik berwarna coklat.

“Siapa dia, Fiq?” tanyaku pada Rofiq.

“Ini anak magang, Qib.”

“Oala. Laki sendiri, Mas?”

“Iya, Kang,” jawabnya sambil menghampiri saya. Kami ngobrol lama di asrama bawah. Pada initinya, saya mengajaknya ngopi nanti malam.

Malamnya kami ngopi dengan Anwar, dan dua orang mahasiswi itu. Karena tidak ada sepeda motor, aku mengajak mereka berjalan menuju The Crito Coffe. Sampai sana aku harus memulai pembicaraan. Sebagai seorang yang dipasrahi oleh Yai, bagaimanapun aku harus membimbing mereka. Kata orang, cara paling ampuh mengajar adalah dengan etika yang baik. Maka aku jaga etikaku ketika itu, Dik.

Aku berkenalan dengan mereka, dan menanyai perihal kitab apa yang akan mereka terjemah. Mereka diam. “Manut,” katamu waktu itu. Aku belum mengenalmu, Dik, juga belum mengenal Lailana. Diam.

Singkatnya, aku mengenalmu. Saat kutanyai, kau tundukkan kepalamu. Sambil malu-malu kau tersenyum,. Aku masih sangat ingat betul, betapa senyumanmu waktu itu adalah bak air hujan yang deras mengguyur hatiku yang gersang; gersang dari cintai. Aku telah melupakan Ma, kekasihku, yang sebelumnya, hatiku juga tertambat.

“Cerita, Mas,” pintamu saat itu.

Lalu aku ceritakan lika-liku kisahku yang menurutku biasa-biasa saja, tapi menjadikanmu menangis malam itu. Bagaimana hati laki-laki yang ceritanya didengar oleh seorang wanita dan menangis, dapat menahan empatinya untuk tidak mengusap air matanya., Dik? Saat itu, aku ingin mengusap air matamu.

Belum selesai aku bercerita, warung kopi tutup. Kami pun pindah tempat ke warung kopi sebelahnya. Si penjaga memberitahu bahwa sebentar lagi, warung itu tutup. Aku mengajakmu dan kawan-kawan kongko di SMK. Kami pun membungkus kopi, es Nutrisari, dan membawanya ke SMK. Di sana, aku, Anwar, Kau, dan Lailana, bercerita pengalaman masing-masing. Ya, masing-masing.