Hikmah dan Kebahagiaan: Seni Menikmati Hidup

Sumber: Pexels free, by: Pixabay


Kita tidaklah pernah tahu dari mana kebahagiaan berasal, bukan? Dan tidak semua yang berpotensi membahagiakan mendatangkan kebahagiaan pula. Kadang, kebahagiaan justru lahir dari hal-hal yang paling kita benci. Tidak semua lantas bisa dipastikan bahwa yang lazimnya mendatangkan kebahagiaan benar mendatangkan kebahagiaan. 

Contoh, misalnya, Anda sedang merencanakan nikah pada hari itu dan bulan itu, dengan kuade ini dan itu. Namun, pada kenyataannya, tiga hari sebelum hari yang telah anda tentukan sejak lama itu, ternyata ada musibah datang tiba-tiba. 

Katakan saja, misalnya, uang anda dicuri orang dengan jumlah sekian sehingga tidak mencukupi untuk membayar ini dan itu, membiayai ini dan itu.

Saya tahu, betapa kesalnya anda ketika musibah itu menggagalkan rencana awal. Dan tenyata, hikmah dari musibah anda terjawab. Siang hari ada gempa yang begitu dahsyat mengguncang gedung yang anda rencanakan untuk melangsungkan akad nikah. 

Bagaimana kemudian reaksi anda; kira-kira syukur atau masih tetap saja ng-gerundel? Besar kemungkinan anda akan bersyukur. Sebab, barokahnya musibah tersebut, anda terselamatkan dari gempa bumi yang dahsyat.

Lalu siapa yang benar? Rencanamu atau kebaikan takdir Tuhan? Mustinya hal semacam ini berkali-kali terjadi dalam hidup dan roda ruang dan waktu. Tetapi, banyak yang tidak menyadarinya, banyak yang tak men-tadabburinya. 

Ke-paradoksikalan hikmah memang terlalu sering menenggelamkan setiap pelaku yang mengarunginya; manusia-manusia yang masih merasakan ruang dan waktu dan berada dalam putaran siklusnya.

Di sanalah peran penting sadar dituntut. Tanpa sadar, mungkin seseorang (yang di atas saya ibaratkan dengan kata "anda") tidak bisa membikin hati dingin menyikapi musibah tersebab telah dikuasai nafsu dan amarah yang mendorong senantiasa pada pola pikir dendam, tidak terima. 

Dalam konsep dawuh Simbah, kejadian itu disebut "hikmah". "Hikmah kui wiwitane angel nok sadari, Le, tapi lek wes nggulo-wentah tenanan, tulus koyok cah bagos." Hikmah adalah pelajaran dari setiap kejadian yang kita rasakan.

Hikmah itu segala-segala yang mendidikan kita dalam siklus kehidupan ini. Tidak ada kata musibah bagi orang yang senantiasa merasakan hikmah. Sebaliknya, tidak ada hikmah pada musibah bagi orang yang tak pernah memandang bahwa segala-segala ada hikmahnya

Ada kebaikan terselubung dalam setiap yang menimpa kita. Dan dari satu contoh di atas, tak terhitung jumlah bilangannya untuk menjabarkan pada musibah lain. 

Lalu apa korelasi hikmah dan bahagia? Ya, setiap yang sadar akan eksistensi hikmah, bahagia hidup dan waktunya. Bahagia adalah merasa cukup dengan apa dan segala yang telah tercapai. Socrates mengatakan: "Orang tidak akan bahagia selama masih dalam masa pencariaan kebahagiaan." 

Maka kebahagiaan adalah kecukupan hati atas pencapaian. Jangan jadikan kebahagiaanmu bergantung pada apapun. Sulit nanti, ribet. 

Bagaimana nasib nantinya bila standarisasi bahagia saya bergantung pada uang sementara saya sedang tidak punya uang? Sedih terus begitu bila saya tak punya uang?

Saya tahu tidak punya uang karena memandang teman saya ber-uang. Dia bisa makan ayam, saya hanya nasi. Maka, tak ada kebahagiaan bagi orang yang selalu membandingkan nikmat orang lain yang lebih besar dan banyak jumlahnya.

Istiqomahkan bahagia untuk menikmati hidup. Cukupkan hatimu untuk menerima segala pencapaian. Secara manusiawi, hati kita tidak akan pernah puas dengan material, Kawan. Tetapi bagaimanapun, cukupkanlah ia untuk menerima usahamu. Diri sendiri juga butuh dihargai, bukan?