Seni Hidup untuk Belajar

Sekuel Catatan Seorang Pejalan

Layaknya orang pada umumnya, saya adalah salah satu orang yang selalu bingung dengan keadaan di sekitar, termasuk pada diri sendiri. Selalu berfikir berlebihan, hingga menyakiti diri sendiri. Selalu takut jika akan melangkah, hingga tidak melakukan apapun. Lebih mudah mundur sebelum mencoba, hingga tidak mampu mengerti arti kesempatan. Sering menangis tanpa sebab, memilih diam, membiarkan uraian benang kusut dalam kepala, tanpa tahu harus merapikannya. Tidak tahu bagaimana harus menenangkan diri.

Di usia menginjak dewasa ini, sebenarnya saya sendiri belum terlalu yakin jika mengatakan telah bertemu dengan orang yang telah mengerti isi peperangan kepala dan batin saya, namun setidaknya saya merasa yakin jika orang yang saya temui adalah sosok yang sedikit membantu saya keluar dari kegundahan yang melanda.

Nah, ditengah perjalanan yang tidak banyak saya lakukan. Saya akhirnya bertemu dengan seorang teman yang memberi saya banyak pelajaran penting, termasuk bagaimana saya harus merapikan benang yang telah kusut terurai acak. Setelah lama menjadi seorang tertutup, kali ini saya berani lebih jujur, mencoba terbuka dengan pemikiran yang ada, meski tidak banyak.

“Alon-alon”, ajarnya. Saya kemudian jadi berfikir, buat apa mumet saja? toh, sudah jelas mumet tok akan tetap abu-abu. Ujung-ujungnya sakit sendiri. Saya harus bisa pelan-pelan memisahkan mana bagian putih, mana bagian hitam. Tidak perlu buru-buru. Saya harus berfikir bijak, mengontrol emosi lebih hati-hati lagi. Ujarku pada diri sendiri setelah pesan teman saya waktu itu.

Teman yang saya temui ini, mengajarkan saya bagaimana kemudian kita bisa mengelap air mata sendiri. Secara pelan-pelan dia mengajak saya belajar mencari jawaban dari hal-hal yang ringan lebih dulu. Saat gambaran dalam kepala kacau, kita harus bisa melihat sebab kekacauan tersebut lebih dulu. Karena pasti ada alasan dalam setiap masalah yang terjadi. Merubah banyak cara saya memandang kehidupan. Teman saya memberi respon yang baik ketika saya bercerita. Mengajak untuk tetap tenang ketika menemui pecahan kaca berserakan. Hingga sedikit-sedikit saya mulai bisa membersihkannya.

Sulitnya lagi, akal dan perasaan saya lebih sering bertengkar. Teman saya kemudian mengajarkan saya untuk terus menebar cinta. Seperti yang dicerminkan Nabi Muhammad SAW. Tidak kemudian menghakimi akal, lalu perasaan akan kalah. Tapi saya harus bisa mendominasikan keduanya, karena akal dan perasaan diciptakan untuk saling menyempurnakan. Saat kita terbawa dengan perasaan, kita harus berusaha mengimbanginya dengan akal, begitupun sebaliknya.

Pertemuan saya dengan teman saya inilah yang kemudian mendorong saya untuk terus berkembang dan tumbuh lebih baik. Belajar terus, lebih dewasa lagi, lebih pengertian lagi, lebih luas lagi, dan tidak berhenti berusaha. Jika kita memilih mundur maka kita telah melukai usaha panjang yang telah berlalu.

Saya akan terus berterimakasih dan mengingat dengan baik kehadiran teman saya yang mengajarkan saya banyak pelajaran penting di dunia ini. Bagaimanapun hubungan setelah ini, hubungan masa depan atau hanya sampai esok, saya akan tetap mensyukurinya. Karena bagaimapun kondisinya, nyatanya saya menjadi lebih baik karena bertemu dengannya. Pertemuan akan selalu menjadi kesan indah jika kita mampu mengambil hikmah yang dititipkan darinya. Alhamdulillah ‘ala Kulli Hal. Semoga tulisan yang saya bagi dari pelajaran yang saya terima dari teman saya bisa teman-teman ambil pula hikmahnya. Amin.

Pernahkah kalian mengenal seseorang yang memberikan kamu banyak pelajaran penting? Bagaimana kalian menjalani hubungan itu?-terima kasih-

Profil penulis: UmamahAml, perindu, tapi sering tidak, mahasiswi semesta.