Muhammad 3: Majnun yang Berpuasa
Sekuel Catatan Seorang pejalan |
Tak
seperti kisah cinta sepasang kekasih zaman now yang penuh gairah dan
nafsu, Qays ibn Mulawwih justru memuasakan cintanya kepada Layla demi menjaga
kesucian rasa, merasakan tetes-tetes kesejukan esensi cinta suci.
Namun
siapa di dunia ini tiada ingin berbahagia bersama kekasih? Qays pun demikian,
Kawan, ingin berbahagia. Tetapi takdir berkata lain. Dia menerima takdir itu
dengan berpuasa untuk menahan kebahagiaan tersebut di dunia dan ingin menuainya
di akhirat kelak, mungkin.
Anak
semuda Qays yang terenggut cinta pertama dengan Layla, si gadis kerajaan dari
Bani Qatibiyyah (awa kama qoola), harus terpisahkan oleh restu orangtua.
Ayah Layla tidak merestui hubungan mereka, dan justru menikahkan Layla dengan
Ibnu Salam. Macam gayung tidak bersambut, pernikahan itu tak ada keharmonisan
sama sekali karena Layla tidak bisa mencintai Ibnu Salam. Layla justru
bersikukuh mencintai Qays sebagai cinta pertamanya.
Ibnu
Salam menderita karena istrinya tidak mencintainya. Ya, lantas apa untung nasib
dikata bila pernikahan tidak membuahkan keharmonisan dan kebahagiaan sama
sekali? Seperti pohon mangga bertahun-tahun di halaman teras rumahmu, misalnya,
yang tidak pernah sekalipun berbuah. Apa bisa Kau nikmati? Tidak ada sama
sekali. Pun pernikahan mereka yang tidak membuahkan hasil juga.
Waktu
merambat menjalankan pernikahan mereka yang gersang dan tandus tanpa cinta.
Cerita kemudian berlanjut pada kematian Ibnu Salam yang saya tidak akan ulas di
tulisan ini. Terpenting Ibnu Salam wafat. Saat setelah wafatnya Ibnu Salam,
terbesit di hati Layla untuk menemui kekasih hatinya, Qays, dengan bantuan
pelayan setianya bernama Zaid dan memintanya untuk mengantar ke hutan tempat
persembunyian Qays.
Zaid
yang mengetahui keberadaan Qays kemudian mengantarkan Layla ke hutan. Sampai
hutan, Qays dikelilingi binatang-binatang buas yang terlihat jinak di dekat
Qays duduk membacakan syair untuk Layla. Layla menangis dan menghampiri Qays
untuk memeluk kekasihnya itu. Sedang Zaid menunggu di jarak lumayan jauh.
Tak
lama, Layla justru kembali kepada Zaid yang sedang mendongak menatap langit.
Layla menghampirinya dengan tersedu an terisak. Singkat cerita, Layla
mengatakan kepada Zaid bahwa hatinya tersayat-sayat oleh ucapan Qays. Kemudian
keduanya pulang. Layla semakin meradang. Ia tak punya semangat hidup karena
menurutnya, kekasihnya telah berubah prinsip. Takdir mengantarkannya mati.
Layla pun mati dengan membawa cinta yang tulus kepada Qays. Seluruh istana
berduka sebab kewafatan Layla.
Pada
hari kewafatan Layla, Zaid pergi ke hutan tempat Qays membaca syair-syair
cintanya pada Layla. Ia menghampiri Qays dengan wajah lesu dan tatapan sayu.
Qays memahami isyarat itu. Dan dengan tersedu Zaid mengabarkan pada Qays bahwa
Layla telah tiada. Qays pun pingsan karena duka yang mendalam benar.
Cerita
kemudian berlanjut: Setelah Layla dikebumikan, Qays menghampiri pusaranya dan
menangis sejadi dan sesedu-sedunya di atas makamnya sambil meletakkan pasrah
kepala tanpa tenaga. Setiap hari ia membaca syair-syair cinta dengan seperti
itu. Sampai pada waktu di mana ia mati di atas kubur Layla dan menyatu. Wallahu
a’lam.
Kisah
ini ditutup dengan pengakuan Zaid yang bermimpi bahwa sepasang kekasih itu
mendapat kebahagiaan di surga. Setelah terbangun, ia menceritakan mimpinya itu
kepada banyak orang dan mengatakan bahwa cinta sejati akan mendapat balasan
dari Tuhan, begitu katanya.
Lihatlah,
Kawan, bagaimana Qays memuasakan cintanya itu dari belenggu-belenggu syahwat
dan gairah! Andaikata Qays mau, ia mampu saja mengirimkan pasukan ayahnya untuk
menculik Layla, atau menggunakan cara apapun untuk mendapatkan Layla.Tetapi ia
justru menyepi di hutan, berdamai dengan kesepian dan menikmati syair-syairnya
sendiri.
Ketulusan
itulah yang kemudian dapat mengantarkannya pada ketenangan batin sebagai
seorang pecinta. Qays memuasakan cintanya lebih dari ia menahan rasa sakitnya
sendiri. Ia menahan kefrontalan ajakan nafsunya untuk merusak kesucian cinta
mereka.
Dalam
cerita lain disebutkan bahwa Qays sering menghampiri rumah Layla dan menciumi
temboknya. Ia mengatakan dalam syairnya: “Aku melewati rumah Layla kemudian
aku ciumi tembok rumahnya. Tapi sejatinya aku bukan menciumi tembok, melainkan
seseorang yang berada di balik tembok itu: Layla.”
Post a Comment