Muhammad (1)

    
Sekuel Catatan Seorang Pejuang
(Insya Allah Terbit pada September 2022)

 Sabdadiksi.blogspot.com. Orang memanggilku: Mad. Nama panjangku Muhammad saja, tidak lebih dan tidak kurang. Barangkali bapakku ingin menamaiku begitu agar sepercik dari keluasan dan kesamudraan Baginda Nabi menetes padaku yang seperti ini. Dan duh, masih kuraba dan kukaji diriku yang entah berapa kali aku mengulang dan gagal terus-menerus sudah.

Aku terlampau munafik pada apapun yang tidak aku ketahui dan aku tampakkan wujudku yang tidak aku sama sekali sebenarnya pada khalayak orang banyak. Sampai di titik ini, yang kata orang adalah usia dewasa, aku sama sekali tidak dewasa, dan aku tumbuh sebagaimana khalayak manusia umumnya. Bun, anakmu ini tiadakah waktu untuk sedikit saja merenungi, me-muhasabahi, nggerayangi, keaslian dan keorisinilan dirinya sendiri sebagai hamba? 
***
Dari kecil, aku dididik oleh ibu untuk tidak mudah marah apalagi marahan, sedikit-sedkit marah. Masih ingat benar aku apa kata ibu dulu setiap akan ngaji: "Di kelas, kalau dijahili orang tidak usah kamu balas ya, Le. Seng waras seng ngalah (Orang yang baik adalah orang yang mengalah)."

Dan di manapun aku sekarang, rasa-rasanya nasihat ibu itulah yang selalu menguar, menggaung-gaung bila jiwaku memberontak pada yang kurasa tidak sesuai dengan nurani. Lalu kuluruhkan itu semua dengan kejernihan mata hati dan pikir. Kata Pram agaknya ada benarnya, bahwa setajam apapun pendengaran, setajam apapun mataku seperti elang, pengetahuanku tentang manusia tidak akan ada habis dan sudah, dan selesai sampai pada taraf kata sempurna. Jangankan sempurna, mendekati sepuluh kilometer saja tidak.

Kemudian keresahanku tentang manusia-manusia unik yang kadang baik dan kadang jahat, ternyata hanya bagaimana aku menyikapi. Manusia itu sebenarnya selalu baik bila hatiku menyamudra, bila hatiku seperti laut. Sejahat apapun, sehasud, sedengki dan seiri apapun orang pada kita, tidak akan ada atsar (bekas) dan membikin hati kita terkontaminasi bila hati kita menyadura. Konsepnya, laut itu, samudra itu, bila kau buang telek (kotoran) padanya sebanyak bak truck, tak akan memengaruhi rasa air yang asin.

Itulah kenapa bahwa setiap sesuatu sebenarnya tergantung bagaimana perspektifmu. Kalau dalam bahasa agama disebut "attadayyun al-ma'kus", yaitu pandangan terhadap agama yang terbolak-balik, tidak objektif pada sasaran yang tepat sehingga mengalami disparadigma tentang dogma yang otentik dan benar. Kita dididik oleh rumput yang teguh tetap tumbuh walau entah berapa kaki yang menginjaknya terus-terusan. Kita dididik oleh bumi yang semakin dalam digali justru memberikan emas, permata, dan berlian. 

Sependek yang saya tahu, memaparkan teori dan paradigma mekanistik tentang kemanusiaan mungkin banyak orang bisa, tetapi sulit mengimplementasikannya pada keadaan-keadaan tertentu. 

Dalam keadaan hati yang sedang pasang seperti air laut saat pasang, banyak potensi untuk melakukan hal-hal yang sudah kita ketahui tentang sunnah dan dogmatis religi. Namun, berbeda cerita bila kita berada pada keadaan-keadaan sulit yang apalagi berhubungan dengan perut. Pasti susahnya masya Allah. 

Saya sendiri seperti itu. Jika dalam keadaan laparnya kebablasan, duh, apapun saya halalkan untuk mendapatkan itu. Sampai malu saya dibuat oleh lapar yang kadang tertawa dengan ulah dan tingkah saya dalam mempertahankan perut saya untuk tersenyum. 

Imam Busyiri dalam Burdah Al-Madih menyebut: "Wakhsa ad-dasaisa min ju;in wa min syiba'in # Farubba makhmashotin syarrun minal at-tuhkhami." (Berhati-hatilah Engkau terhadap tipuan yang timbul dari lapar dan kenyang # Betapa sering juga lapar yag keterlaluan lebih buruk ketimbang kenyang).

Ya Tuhan, sebagaimana Engkau janjikan pada kami rezeki, puaskanlah hati kami untuk mensyukurinya. Janganlah Engkau jadikan kami sebagai hamba dari hamba-hamba-Mu yang kemaruk dan rakus.

    Profil Penulis:
    Aqib Muhammad Kh,hamba Allah, pejalan saja yang entah kepada manusia siapa lagi belabuh setelah Kanjeng Nabi.